Butuh Masterplan untuk Capai Zero ODOL

1 day ago 7
Butuh Masterplan untuk Capai Zero ODOL Ilustrasi: Petugas gabungan Polri dan Kemenhub memeriksa tonase sebuah truk di jembatan timbang(ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

WAKIL Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menegaskan bahwa penerapan zero ODOL (Over Dimension Over Load) tanpa roadmap yang jelas ibarat macan ompong. Apalagi jika pemerintah belum merevitalisasi jembatan timbang.

"Alat pengendali truk kelebihan dimensi dan muatan  yang selama ini diandalkan, jembatan timbang alias Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB), nyaris tak punya gigi," kata Djoko di Jakarta.

Dia mengungkapkan bahwa instrumen pengawasan seperti jembatan timbang tidak berfungsi optimal di lapangan. Dia melanjutkan, alih-alih menjadi alat pengendali, UPPKB berubah menjadi "macan ompong" yang hanya berdiri sebagai simbol. 

Sejauh ini tidak sedikit jembatan timbang di daerah belum sepenuhnya beroperasi atau bahkan ada yang terbengkalai. Berdasarkan data 2021, jembatan timbang yang beroperasi hanya sekitar 88 dari total 134 yang ada. Masalah ini tampaknya membuat para sopir truk enggan masuk ke jembatan timbang.

Djoko melanjutkan, banyak UPPKB yang overkapasitas, juga tidak dilengkapi teknologi mutakhir seperti Weight-in-Motion, dan menjadi titik rawan praktik pungli. Di sisi lain, uji KIR justru menjadi lahan pemasukan daerah tanpa pengawasan terintegrasi, bahkan sekitar 80 persen truk lolos tanpa proses uji yang sah.

"Banyak yang kelebihan kapasitas, fasilitasnya terbatas, dan rawan pungli," kata Djoko lagi.

Dia melanjutkan, di tengah kondisi tersebut pengemudi truk terus menjadi pihak yang paling menderita. dia mengatakan, para sopir mengemudi tanpa perlindungan, tanpa standar upah, tanpa tempat istirahat layak dan apabila kecelakaan, mereka yang dijadikan tersangka. Dia mengatakan, para sopir juga hidup dalam ancaman pungli yang bisa menggerus hingga 35 persen dari ongkos jalan.

Melihat kompleksitas ini, MTI menawarkan tiga langkah strategis yang harus dijadikan prasyarat sebelum kebijakan zero ODOL dijalankan. Pertama, penyusunan masterplan simpul dan lintasan angkutan barang terintegrasi. 

Djoko mengatakan, pemerintah harus menghentikan pembangunan simpul logistik secara sporadis tanpa arah nasional. Terminal barang, pelabuhan, jalan tol, bandara, hingga stasiun kereta harus dihubungkan dalam jaringan lintasan logistik yang efisien, berimbang antar moda, dan mempertimbangkan daya dukung wilayah.

Kedua, penyusunan roadmap tata kelola distribusi barang. Djoko menjelaskan, pemerintah tidak boleh membiarkan pelaku industri dan pemilik barang berdiri di luar sistem pengendalian ODOL. Menurutnya, harus ada regulasi yang menetapkan tanggung jawab mereka, dari jenis kemasan, volume barang, moda yang digunakan, hingga sanksi bila memaksa sopir melanggar aturan. 

"Tanpa itu, sopir akan terus menjadi korban," kata Dosen Teknik Sipil Univ Soegijapranata ini.

Ketiga, pembentukan kebijakan logistik nasional berbasis supply chain. Djoko mengatakan, sistem logistik adalah sistem lintas sektor dan lintas wilayah yang tidak bisa ditangani secara sektoral. Dia melanjutkan, perlu pendekatan terintegrasi yang menyatukan kebijakan transportasi, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan. 

Dia mengatakan, pengemudi harus diakui sebagai profesi formal yang mendapat perlindungan upah, jam kerja manusiawi, dan jaminan keselamatan. Dia melanjutkan, pemberlakuan zero ODOL bukan hanya soal menertibkan ukuran dan muatan truk tetapi harus menjadi pintu masuk menuju reformasi logistik yang adil dan modern.

"Tanpa roadmap yang konkret dan jembatan timbang yang benar-benar berfungsi, maka kebijakan ini hanya akan jadi slogan belaka. Lebih buruk lagi, akan menambah deret panjang ketidakadilan dalam rantai distribusi nasional," katanya. (M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |