
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah mengatakan kasus suap yang menjerat Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta menjadi bukti upaya reformasi dan bersih-bersih sistem peradilan selama ini hanya gimik.
Ia mengatakan kasus suap yang melibatkan hakim dan pengadilan tersebut tak hanya sekali terjadi. Sebelumnya, juga terjadi kasus suap yang melibatkan hakim seperti 3 hakim PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas pada Ronald Tannur.
"Saya setuju artinya reformasi peradilan, membersihkan jajarannya dari prilaku korup pada akhirnya hanya terkesan sebagai gimik karena kejadian seperti ini terus menerus berulang. Ada problem yang akut di dalam internal Mahkamah Agung (MA) yang belum bisa dibereskan oleh jajarannya sendiri," kata pria yang akrab disapa Castro itu kepada Media Indonesia, Minggu (13/4).
Castro mengungkapkan MA seharusnya sejak lama memiliki komitmen yang serius dalam membenahi internal. Ia mengatakan MA jangan bertindak hanya ketika kasus korupsi terjadi. Akan tetapi, melakukan pembenahan dan pendalaman secara total dan sampai ke akarmya.
"Reformasi peradilan tentu menjadi tanggung jawab yang harus serius dilakukan. Jangan sekadar seperti tiba masa, tiba akal. Nanti ketika ada kejadian seolah-olah tim pengawas bergerak cepat, proses penangan cepat. Tidak bisa begitu. Cara kita mendalami proses reformasi peradilan harus serius, jangan menunggu momentum ketika ada perkara baru kemudian serius," katanya.
Castro mengungkapkan MA harus serius melakukan pembenahan dari hulu ke hilir dalam sistem peradilan. Dari hulu, proses rekrutmen hakim mesti mempertimbangkan rekam jejak. Sosok yang punya masalah dan memiliki integritas buruk jangan sampai lolos masuk ke internal MA.
"Begitu pun dalam proses pengawasan harus diperketat, tidak hanya internal tapi eksternal dalam pengertian publik harus diberikan ruang yang leluasa untuk mengawasi peradilan," katanya.
"Catatan saya jelas bagaimana pengawasan publik bisa dilakukan kalau soal data itu tidak transparan dan terbuka," katanya.
Sementara itu, di bagian hilir, MA harus menghukum berat hakim yang terseret kasus korupsi. Ia mengatakan deretan kasus yang ada karena mentalitas yang korup dalam diri hakim dan ketiadaan sanksi berat.
"Kalau cuma satu tahun dua tahun apa gunanya? Tidak memberi efek jera. Makanya mereka di hilir ini, mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi punya mentalitas korup harus dijatuhkan sanksi seberat-beratnya," katanya.
Lebih lanjut, Castro mengingatkan reformasi sistem peradilan harus dilakukan. Pasalnya, hal ini menyangkut pada kepercayaan publik pada sistem peradilan di Indonesia.
"Kalau saya memang akhirnya dampaknya ya ini akan sangat memengaruhi kepercayaan publik. Semakin banyak perkara korupsi yang didapati di internal MA ya semakin membuat masyarakat tidak percaya. Bahayanya kalau masyarakat tidak percaya hukum bagaimana coba? Putusan pengadilan akan dianggap sebagai sekadar permainan elit di dalam internal MA dan hakim," pungkasnya.(P-1)