(Dok. Pribadi)
KINERJA serapan anggaran daerah menjadi sorotan pemerintah pusat, juga publik. Pasalnya, masih banyak pemerintah daerah (pemda) yang mengendapkan dana belanja di bank. Tak pelak, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa merasa kesal lantaran kecepatan eksekusi belanja pemda lemot. Bahkan Menkeu mengancam bakal memotong anggaran transfer ke daerah (TKD) 2026.
Menurut data yang dirilis Kemenkeu (2025), dana TKD pada APBN 2025 ditetapkan sebesar Rp848,52 triliun. Adapun dana daerah yang masih ‘diparkir’ di bank hingga akhir September 2025 mencapai Rp234 triliun. Angka ini jauh lebih besar daripada dana yang mengendap pada tahun anggaran 2023 (Rp211,7 triliun) dan 2024 (Rp208,6 triliun).
Provinsi yang paling besar memarkirkan dana daerahnya di bank, urutan teratas diduduki DKI Jakarta dengan nilai mencapai Rp14,68 triliun, diikuti Jawa Timur (Rp6,84 triliun), Kota Banjarbaru (Rp5,17 triliun), Jawa Barat (Rp4,17 triliun), dan Kabupaten Bojonegoro (Rp3,6 triliun). Urutan paling buncit ditempati kabupaten Balangan (Rp1,86 triliun).
LAYANAN PUBLIK
Merujuk pada data-data di atas, berarti dari tahun ke tahun tren pengendapan dana daerah mengalami peningkatan. Kondisi ini bisa saja dimaknai pertumbuhan belanja daerah mengalami penurunan (y-on-y). Kemendagri (2025) menyebutkan realisasi belanja daerah per September 2025 menurun menjadi 56,07% atau Rp770,13 triliun, lebih rendah daripada periode yang sama tahun 2024 yang sebesar 57,20% atau Rp817,79 triliun.
Wajar saja jika Menkeu Purbaya merasa kesal. Sebab, di saat negara berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemda justru membiarkan dana belanjanya ‘menganggur’. Apalagi dana itu sejatinya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat daerah yang belum sepenuhnya pulih akibat gejala deindustrialisasi yang berdampak terjadinya gelombang PHK di berbagai daerah.
Selain itu, pengendapan dana anggaran yang terlalu lama tentu tidak boleh dipandang remeh. Hal itu terbilang persoalan krusial yang bukan sekadar pengalokasian belanja pemda an sich, melainkan bisa berimbas pada terganggunya layanan publik. Misalnya saja, proyek-proyek produktif daerah yang seharusnya dapat menstimulusi geliat ekonomi kerakyatan menjadi terganggu karena dana yang digunakan untuk mendanai proyek itu tidak kunjung dicairkan.
Mengingat fungsi APBD sebagai instrumen kebijakan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah, penyusunan APBD pun harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik, keunikan, dan potensi yang dimiliki setiap daerah.
Di sisi lain, problem itu akan semakin ‘runyam’ apabila dikaitkan dengan dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah yang salah satu instrumennya ialah dana alokasi umum (DAU). DAU tidak boleh disimpan terlalu lama di bank karena dana itu bersifat block grant, yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Logikanya, karena DAU itu dikucurkan atas permintaan daerah untuk memenuhi hajatnya di daerah, maka tidak elok jika dana itu diendapkan dan/atau tidak segera dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan, yang sebelumnya telah diajukan daerah dan disetujui pemerintah pusat.
RENDAHNYA PRODUKTIVITAS
Jadi, mengendapnya dana anggaran belanja daerah mengindikasikan sejumlah masalah krusial. Pertama, produktivitas anggaran sangat rendah. Anggaran yang tidak terserap selama satu tahun anggaran mengindikasikan pemda kurang produktif dalam mengelola dana belanjanya. Padahal, dalam penyusunan APBD didasarkan atas kinerja, maknanya harus ada relasi antara belanja dan kinerja yang dihasilkan. Jadi, jika daya serap anggarannya rendah, otomatis kinerja pemerintahannya juga rendah, terutama pertumbuhan ekonomi daerah tersendat.
Kedua, pengelolaan anggaran tidak efisien dan efektif. Dalam konteks penganggaran, efisien dan efektif itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan oleh pemda, seyogianya bisa menghasilkan ouput (PDB) yang tinggi. Namunm pengendapan anggaran menjadi paradoks karena dampaknya justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan berimbas ke nasional.
Ketiga, rendahnya kreativitas dan inovasi pemda. Parkirnya dana belanja daerah di bank diduga kuat karena pemda ‘kesulitan’ menghabiskan anggarannya dalam setahun. Kesulitan itu lebih disebabkan oleh para eksekutif di daerah kurang kreatif dan inovatif, baik dalam penyusunan APBD maupun pada saat mengeksekusi anggaran. Gagasan dan tangan-tangan kreatif-inovatif para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam pembangunan dalam menggerakkan sektor-sektor produktif masyarakat daerah agar misalnya UMKM dan ekonomi kreatif di daerah semakin bergeliat.
Keempat, APBD tidak pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Menurut UU tentang Keuangan Negara, APBD itu salah satunya memiliki fungsi alokasi, artinya daerah harus mengalokasikan pos belanjanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang kontraproduktif, di mana pemda ‘membiarkan’ ratusan triliun dana itu menjadi kurang produktif, yang pada gilirannya menghambat program-progam penanggulangan kemiskinan. Hal itu bisa dikonfirmasi dengan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di daerah, yang justru terjadi hampir bersamaan dengan maraknya fenomena daerah mengendapkan dana belanjanya di bank.
Kendati demikian, ada sejumlah faktor yang membuat penyerapan anggaran rendah, antara lain rumitnya prosedur pencairan anggaran sehingga pemda mengalami kendala waktu, sikap hati-hati yang berlebihan demi menghindari tuduhan korupsi, serta kurangnya supervisi kepala daerah dalam mengawal pelaksanaan anggaran.
Terakhir, pemda tidak perlu takut akan tuduhan korupsi yang berlebihan sepanjang dana daerah dikelola secara akuntabel, transparan, melibatkan partisipasi publik, bertanggung jawab, serta memenuhi prinsip keadilan dan kepatutan.


















































