
ASOSIASI Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) membahas dua kebijakan strategis yaitu terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 251 KUHD, dan penerbitan SEOJK No.7 Tahun 2025. Kedua isu yang saat ini menjadi sorotan publik itu dikupas dalam diskusi pada kegiatan Media Gathering yang digelar di Toyal Tulip Hotel & Resort di Sentul, Kabupaten Bogor, Sabtu (28/6).
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari lintas pemangku kepentingan di antaranya Hendri Jayadi, seorang akademisi dan pakar hukum pidana. Kemudian ada Hasinah Jusuf, Kepala Departemen Legal AAJI, Dian Budiani, Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI dan Emira E. Oepangat, Wakil Ketua I PERDOKJASI.
Sesi pertama mengangkat tema Transparansi Asuransi Pasca Putusan MK: Implikasi dan Langkah Industri. Akademisi dan Pakar Hukum Pidana, Hendri Jayadi menjelaskan bahwa putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 memiliki dampak langsung terhadap prinsip dasar kontrak dalam asuransi jiwa.
“Putusan MK ini menegaskan bahwa perusahaan tidak bisa secara sepihak membatalkan pertanggungan tanpa dasar kesepakatan atau putusan pengadilan. Untuk itu, perusahaan perlu memperkuat unsur utmost good faith, memperjelas klausul, serta memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa,” jelas Hendri.
Kepala Departemen Legal AAJI, Hasinah Jusuf menambahkan bahwa industri telah merespons putusan MK ini dengan melakukan penyesuaian teknis. “Kami telah menyusun revisi klausul polis, SPAJ, dan formulir klaim, serta berdiskusi dengan OJK. Prinsip utamanya adalah menjaga agar hak dan kewajiban perusahaan dan nasabah menjadi lebih seimbang, adil, dan transparan,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa perusahaan tetap memiliki hak menolak klaim sepanjang alasan penolakannya sudah tertulis dan disepakati dalam polis.
Sesi kedua, tema diskusi Perkembangan Asuransi Kesehatan: Tantangan Regulasi dan Inflasi Medis. Di sini para nara sumber membahas strategi industri dalam menghadapi lonjakan biaya kesehatan yang signifikan dalam dua tahun terakhir. Kenaikan klaim dipicu oleh inflasi medis, harga obat-obatan, hingga potensi overtreatment.
Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI, Dian Budiani menjelaskan sembilan komponen utama dalam SEOJK ini, termasuk kewajiban membentuk Dewan Penasihat Medis (DPM), digitalisasi data dengan rumah sakit, dan ketentuan co-payment.
“Co-payment bukan hal baru, dan bukan untuk membebani. Tujuannya adalah untuk mendorong kesadaran nasabah dalam memilih layanan kesehatan yang efektif dan tepat guna,” ujarnya.
Co-payment dibatasi maksimal Rp 300 ribu untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap atau sesuai dengan nominal yang disepakati antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis.(E-2)