
DALAM kitabnya, Tarbiyyah al-Ruhiyyah, Dr Sa’id Hawwa mengingatkan kita bahwa ada empat anak tangga menuju Tuhan. Keempat anak tangga itu ialah: 1) Menjalankan perintah dan menjauhi larangan, 2) Mewujudkan hikmah di balik perintah dan larangan tersebut, 3) Cemerlangnya hati, dan 4) Lahirnya perilaku positif sebagai dampak dari hati yang sudah tercerahkan.
Tahapan di atas mengingatkan kita semua bahwa tidak cukup hanya mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Perintah dan larangan itu harus dijiwai dan dihayati hikmah yang terkandung di dalamnya.
Contoh tentang kewajiban mendirikan salat lima waktu. Kita tidak boleh berhenti hanya sampai pada penegakan salat itu dengan melengkapi rukun dan syaratnya. Allah SWT di dalam Al-Qur’an meminta kita agar: “Dirikanlah salat untuk mengingat Aku,” (Aqim al-shalata li dzikri). Orang yang salat tanpa merasakan hikmah, tidak merasakan dan menghadirkan Tuhan di dalam salatnya. Maka, dengan sendirinya sulit untuk menaiki anak tangga berikutnya.
Orang yang sudah merasakan dan menghayati keberadaan Tuhan di dalam salatnya, ia akan merasakan perasaan lebih lanjut kedalaman makna salat itu. Hatinya merasakan sinar Ilahi yang menerangi dan menenteramkan seluruh jiwanya sehingga ia selalu merasa tenang, Seperti dikatakan di dalam Al-Qur’an: “Ketahuilah dengan mengingat Allah SWT akan menenangkan jiwa,” (Ala bi dzikrillah tathmainnul qulub).
Hati yang cemerlang akan selalu merasa tenang. Betapa tidak? Dadanya sudah selapang samudra yang dapat menampung segala macam kotoran dari darat. “Ia menggunakan mata Tuhan untuk melihat, mendengarkan pendengaran Tuhan untuk mendengar, dan mendengarkan perasaan Tuhan untuk merasa,” kata Rasulullah dalam hadisnya.
Jika dimaki atau dikritik, ia berdoa, “Ya Allah, jika makian dan kritikannya benar, ampuni aku. Jika makian dan kritikannya keliru, ampuni dia.” Tidak pernah lagi ada rasa benci dan dendam yang bermalam. Ia menjalani hari demi hari dengan ringan tanpa beban. Semua mata yang memandangnya merasa senang karena ia sudah menjadi kembang masyarakat.
Orang yang sampai pada penghayatan mendalam dalam salatnya, maka salatnya, kata Tuhan, memiliki 'bekas sujud' (atsar al-sujud) yang tergambar di dalam perkataan dan perbuatan. Jiwa, pikiran, dan perilakunya di dalam masyarakat betul-betul mengesankan. Kehadirannya selalu dirindukan, kepergiannya selalu menyedihkan.
Ia bagaikan cahaya dalam kegelapan. Ia selalu menebarkan energi positif. Ia menempatkan dirinya sebagai manusia langka yang didoakan banyak orang di bumi dan para malaikat di langit. Dialah ahli waris spiritual Nabi yang perlu ditiru.
Jangan kita menjadi kebalikannya, menampilkan wajah seperti kata Tuhan: "Bagaikan berkepala hantu," (Ka annahu ruus al-syaithan). Ia bagaikan kata pepatah: “Datang tidak menguntungkan, pergi tak mengurangi.” Sehari-harinya hanya menebarkan energi negatif. Orang seperti ini bagaikan hidup di alam gelap gulita, sarat beban. Ia selalu merasa dikejar bayang-bayang dan mengejar bayang-bayang.
Bagi mereka yang demikian, masih ada waktu bertobat, kembali ke jalan benar dan tidak ada kata terlambat untuk insaf. Tidak ada yang bisa menghalangi Tuhan jika akan memafkan secara total hamba-Nya. Tuhan lebih menonjol sebagai Maha Pemaaf dan Maha Penyayang ketimbang sebagai Tuhan Maha Penghukum dan Maha Pendendam.
Mari kita memimpikan husnul khatimah dalam menjalani kehidupan ini.