
FENOMENA autokratisasi secara global yang terjadi saat ini memasuki gelombang ketiga. Berbeda dari dua gelombang sebelumnya, fenomena kekinian justru menunjukkan bahwa pemerintah otoriter lahir dengan cara 'memanfaatkan' sistem demokrasi.
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Kusumaningrum menjelaskan, autokratisasi gelombang pertama dialami oleh negara-negara yang baru merdeka yang kedaulatannya direbut melalui kudeta militer. Sementara, gelombang kedua ditandai dengan pecahnya sejumlah blok timur seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Diah menyebut, kesamaan autokratisasi gelombang pertama dan kedua adalah dikuncinya keran demokrasi oleh orang-orang kuat yang berhasil naik ke puncak kekuasaan.
"Nah yang ketiga ini beda. Ini justru aktor-aktor autokratisasi itu naik kekuasaan pakai metode-metode, pakai prosedur-prosedur demokrasi," ujar Diah dalam acara peluncuran Laporan Tahunan Hak Asasi Manusia (HAM) Amnesty International Indonesia di Jakarta, Selasa (29/4).
Laporan Amnesty menyimpulkan bahwa praktik autoritarian semakin mengglobal. Menurut Diah, autokratisasi gelombang ketiga terejawantah dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brazil, Narendra Moodi di India, maupun Victor Orban di Hungaria.
"Di kita (Indonesia) juga ada. Jadi kita lihat betapa orang-orang ini tidak mengunci langsung keran demokrasi, tetapi memanfaatkannya untuk mengkonsolidasi kekuasaan," jelas pengajar hubungan internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM tersebut.
Menurut Diah, autokratisasi gelombang ketiga juga cenderung terjadi dengan cepat. Ia melacak, fenomena itu sebenarnya sudah terjadi 10-15 tahun yang lalu. Namun, dampaknya baru dirasakan pada lima tahun terakhir. Ia jug menggarisbawahi, kata kunci fenomena yang terjadi saat ini adalah authoritarian learning atau pembelajaran otoriter.
"Jadi para autokrat ini belajar satu sama lain. Trump belajar dari Putin, Orban, Bolsonaro, Modi belajar dari satu sama lain. Saya tidak tahu rezim kita belajar dari yang mana," terang Diah.
"Tapi yang jelas autokratik atau authoritarian learning ini ada dan cepat, dan efektif, lebih cepat lebih efektif daripada kita-kita para pecinta demokrasi, pecinta HAM belajar dari satu sama lain," sambungnya. (Tri/M-3)