
SETELAH sebulan berpuasa, umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri. Sebagai hari raya, Idul Fitri disambut dengan gegap gempita oleh seluruh umat manusia. Semua terlibat dalam perayaan ini. Sebagai bentuk performansi keagamaan dan juga gejala sosial, perayaan Idul Fitri ini menarik untuk diamati di tengah-tengah isu sosial, politik, budaya dan bahkan perkembangan teknologi.
Belakangan, sejumlah kalangan yang mengamati gejala sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia mengkhawatirkan adanya fenomena “abrasi” nilai-nilai Idul Fitri. Dalam konteks geografi, kata abrasi dimaknai sebagai pengikisan batuan (tanah) oleh air atau es. Biasanya, abrasi terjadi di pantai akibat dari arus laut atau gelombang yang berlebihan. Di dalam makna kata ‘abrasi’ terkandung kata pengikisan. Abrasi Idul Fitri berarti pengikisan nilai-nilai Idul Fitri. Makna Idul Fitri ini terkikis oleh akibat berlebihannya (israf) dalam merayakan Idul Fitri. Ingat bahwa segala sesuatu yang berlebihan akan memiliki efek negatif.
Idul Fitri mesti dirayakan secara proporsional dan sewajarnya. Dalam satu bulan ke depan di di bulan Syawal, fenomena perayaan Idul Fitri dengan beragam modelnya akan membanjiri media sosial. Perayaan merupakan ungkapan kegembiraan yang menjadi hak bagi semua umat Islam. Apapun bentuk ungkapan kegembiraan itu adalah sah-sah saja. Namun, karena manusia adalah makhluk sosial yang saling terkait satu sama lainnya, maka ekspresi kegembiraan mesti dilakukan secara sederhana, tidak berlebihan dan sesuai etika yang berlaku. Bukan sebaliknya, alih-alih menunjukkan kegembiraan, perayaan Idul Fitri malah—misalnya—menjadi pemicu ketimpangan dan kecemburuan sosial, ajang pamer (flexing) status sosial dan harta, euforia dan bahaya keselamatan publik dan juga masalah kesehatan tubuh.
Tradisi open house pada hari raya Idul Fitri oleh para pejabat merupakan tradisi baik. Dulu Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) merupakan presiden yang menginisiasi tradisi ini, dengan membuka selebar-lebarnya pintu istana kepresidenan untuk didatangi oleh masyarakat biasa yang mau bersilaturahim ke presidennya.
Kini, open house menjadi tradisi umum yang dilakukan oleh para pejabat baik di kantor, rumah dinas, maupun rumah pribadi. Bila diamati secara saksama, tradisi open house oleh para pejabat di tengah efisiensi ini ditemukan sejumlah anomali. Anomali tersebut terlihat dari misalnya makanan yang dihidangkan tampak berlebihan hingga tidak jarang mubazir terbuang atau bahkan bisa membahayakan kesehatan tubuh. Ingat, pascalebaran tidak sedikit orang yang sakit karena makanan.
Belum lagi soal angpao yang dibagikan kepada tamu yang datang dan soal penampilan. Tidak ada yang bisa memastikan isi angpao tersebut berasal dari kantong pribadi atau anggaran kantor. Penampilan dengan mengenakan pakaian baju atau gamis yang bermerk, branded dan kemudian swafoto yang berlebihan dengan tujuan pamer status. Selain itu, tidak menutup kemungkinan open house yang tujuan awalnya adalah untuk mempererat tali silaturahim digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu (vested interest). Tentu, semua ini akan mengakibatkan abrasi nilai-nilai puasa dan Idul Fitri. Abrasi tersebut tidak hanya terjadi pada diri pelaku sendiri, tetapi juga menciptakan abrasi terhadap keharmonisan sosial. Hingga akhirnya, puasa dan Idul Fitri hanyalah basa-basi formalitas keagamaan saja yang kita tumpangi oleh kepentingan pribadi kita.
Selain pejabat, fenomena para influencer (artis, selebgram, youtuber dan sebagainya) yang muncul di layar-layar media sosial juga menambah anomali perayaan Idul Fitri. Wajah dan gaya hidup mereka sudah masuk ke dalam pikiran seluruh lapisan masyarakat dari kota hingga pelosok desa, menjadi role model masyarakat. Padahal tidak setiap masyarakat memiliki kemampuan finansial dan mental yang sama dengan para influencer tersebut. Hingga akhirnya masyarakat ini tiru-tiru dan mengikuti gaya hidup mereka dengan cara dipaksakan atau bahkan dengan berbagai cara yang tidak produktif. Misalnya hanya untuk memenuhi gaya hidup mirip selebgram, seseorang harus pinjam uang sana-sini dan terjerat oleh pinjaman online.
Di kalangan masyarakat biasa, kita juga saksikan bentuk-bentuk berlebihan dalam merayakan Idul Fitri yang berbahaya. Tradisi menyalakan petasan (mercon) tidak jarang pula memakan korban, baik itu luka maupun kematian. Satu orang di Pamekasan harus meregang nyawanya karena petasan di malam takbiran lalu. Tidak hanya itu, Idul Fitri biasanya juga diekspresikan dengan kegiatan hiburan seperti rekreasi. Beberapa hari yang lalu terdengar adanya korban tenggelam di Wisata Air Seluma (Muara Masat) Bengkulu. Niatnya rekreasi liburan Idul Fitri, namun berujung pada kematian. Oleh sebab itu himbauan untuk pembatasan rekreasi atau imbauan mencari tempat-tempat rekreasi yang aman diserukan di mana-mana oleh sejumlah pihak
Puasa sebulan penuh yang mengajarkan manusia untuk menahan (tidak hanya makan dan minum, tetapi juga nafsu-nafsu tercela lainnya) dan Idul Fitri yang menegaskan kemenangan kesucian hati dan kesucian diri telah dikotori oleh kepentingan egoisme dan nafsu belaka.
Kiranya meneguhkan kembali nilai-nilai puasa selama Ramadan dan substansi Idul Fitri menjadi sangat penting di tengah disrupsi sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi saat ini. Nilai-nilai tersebut kesederhanaan, kemampuan menahan nafsu, penghapusan ego dan kesucian niat atau hati. Tanpa penghayatan atas nilai-nilai tersebut, maka abrasi makna Idul Fitri akan benar-benar terjadi. Dan ini secara otomatis menunjukkan ada yang belum beres dengan puasa kita kemarin dan cara kita menghayati hari raya Idul Fitri. (H-4)