
KOORDINATOR Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan bahwa penyediaan tenaga pendidik atau guru Sekolah Rakyat perlu dipertanyakan, menyusul kebijakan dari pemerintah yang tidak lagi memberikan kebijakan pengangkatan PPPK di tahun ini.
“Ini sekolah rakyat yang rencananya akan dibangun 100 sekolah rakyat per tahun dengan anggaran Rp100 miliar per sekolah, guru dan tenaga kependidikannya diambil dari mana? Kalau diambil dari ASN, yaitu guru PNS dan guru PPPK saja yang seharusnya diangkat April tahun ini oleh Kementerian PAN-RB saja bersepakat dengan Komisi II DPR diundur pengangkatannya menjadi 2026, khusus PPPK yaitu di Maret,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (6/4).
Di sisi lain pemerintah juga akan membuka unit sekolah baru yaitu SMA Unggulan Garuda yang akan menciptakan kecemburuan karena tenaga kependidikan adalah guru-guru dari sekolah international yang upah dan gajinya itu sampai di angka Rp55 juta.
“Ya kan begitu juga guru-guru yang direkrut dari dalam negeri dengan upah atau gaji yang jauh di atas guru-guru ASN biasa apalagi guru honorer. Ini kan menciptakan kecemburuan,” kata dia.
Satriwan menegaskan bahwa semestinya Sekolah Rakyat tidak perlu dibangun. Karena anak-anak miskin yang tidak mampu itu sudah diberikan jalur khusus melalui Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yaitu jalur afirmasi.
Selain itu, anak-anak yang memiliki prestasi yang istimewa, cerdas, dan prestasi akademik maupun non-akademiknya unggul juga diberikan jalur khusus yang namanya jalur prestasi.
“Dan juga ada jalur zonasi atau domisili. Nah mestinya ini yang secara optimal dikelola oleh pemerintah. Anak-anak miskin yang putus sekolah justru bisa bersekolah di sekolah umum. Karena ruang sekolah itu harus menjadi ruang interaksi sosial, interaksi antarbudaya, interaksi antarsiswa dari berbagai kelas ekonomi, dari berbagai latar belakang sosial,” jelasnya.
Dengan skema pendidikan di era Presiden Prabowo, saat ini tercipta kasta dalam pendidikan, di mana SMA Unggulan Garuda diperuntukkan bagi anak-anak kaya yang pintar yang kemudian diberikan beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi luar negeri yang bonafide, kemudian sekolah umum untuk middle class, dan lower class yaitu sekolah rakyat khusus bagi anak-anak miskin.
“Padahal kalau merujuk kepada Undang-Undang Sisdiknas, prinsip penyelenggaran pendidikan haruslah demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan menghargai keberagaman, kebhinekaan, dan inklusif. Kalau seperti ini pendidikan nasional itu tidak lagi satu sistem tapi banyak sistem pengelolaannya,” kata Satriwan.
Saat ini, Satriwan menguraikan bahwa jumlah murid di Indonesia mencapai sekitar 50 juta lebih mulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, dan sederajat.
Sementara target dari Sekolah Rakyat, satu tahun ini ada 100 sekolah rakyat yang akan dibangun yang artinya di satu Sekolah Rakyat mampu menyerap 1.000 murid dan untuk 1 tahun akan terserap 100 ribu murid.
“Kalau lima tahun pemerintah Prabowo dapat membangun 500 sekolah rakyat. Berarti murid yang akan terserap sekitar 500 ribu. Kalau kita lihat jumlah siswa di Indonesia itu kira-kira 50 juta lebih. Berarti 500 ribu siswa miskin ini hanya 1% saja yang dapat diserap,” tuturnya.
“Begitu juga sekolah unggul SMA Unggulan Garuda. Penelitian mengatakan anak yang memiliki kecerdasan istimewa itu hanya sekitar 1% dari populasi. Berarti kalau populasi anak sekolah itu sekitar 50 juta, itu hanya 500 ribu dan hanya 1%,” sambung Satriwan.
Satriwan mengkhawatirkan bahwa perhatian pemerintah akan lebih banyak terserap untuk memperhatikan anak di Sekolah Rakyat dan SMA Unggulan Garuda. Sementara anak-anak lain hanya akan menjadi semakin tertinggal.
“Apalagi ini berpotensi tidak efektif juga karena 5 tahun anggaplah ini dilaksanakan di pemerintahan Pak Prabowo. Kalau pemerintahan Pak Prabowo ini tidak terpilih kembali di tahun 2029, kami khawatir juga akan terjadi diskontinuitas. Tidak adanya keberlangsungan dan keberlanjutan. Kami khawatir ini akan berhenti di tengah jalan 5 tahun,” tandasnya. (H-3)