
Banjir tengah melanda berbagai daerah di Indonesia, tidak terkecuali Jabodetabek. Hal itu menimbulkan dampak yang berbahaya bagi masyarakat, khususnya penyebaran beberapa penyakit. Salah satu yang harus diwaspadai adalah leptospirosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen atau dikenal dengan istilah demam urine tikus.
Di Indonesia, tikus adalah sumber utama penular leptospirosis. Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan, leptospirosis ditularkan melalui urin binatang yang mengandung bakteri leptospira, yaitu melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air seperti sungai, danau, selokan, lumpur atau tanah yang tercemar/terkontaminasi bakteri Leptospira.
Gejala klinis di antaranya demam lebih dari 38 derajat celsius, sakit kepala, badan lemah, nyeri betis hingga kesulitan berjalan, conjungtival suffusion (kemerahan pada selaput putih mata), kekuningan (ikterik) pada mata dan kulit, pembesaran hati dan limpa, dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal. Masa inkubasi antara 2-30 hari, rata-rata berlangsung 7-10 hari.
Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis leptospirosis, Provinsi berikut pernah melaporkan kasus leptospirosis yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau dan Bali.
Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa wilayah di Indonesia berkaitan dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia.
Faktor risiko penularan leptospirosis sendiri di antaranya bertempat tinggal atau beraktivitas di wilayah banjir, wilayah pemukiman banyak ditemukan tikus, melakukan aktivitas di sungai, olahraga di air, dan risiko pekerjaan seperti petani, peternak, petugas kebersihan, petugas pemotongan hewan, tentara dan lain-lain.
Pengobatan leptospirosis relatif mudah dilakukan pada stadium awal setelah ditegakan diagnosis klinis karena hingga saat ini masih sensitif dengan anbiotika yang tersedia di Puskesmas/pelayanan kesehatan dasar dan Rumah Sakit, namun sering terjadi kasus diakhiri dengan kematian. Hal tersebut disebabkan karena keterlambatan dalam deteksi dini secara klinis, sehingga pasien datang ke rumah sakit sudah terlambat dan pada keadaan stadium lanjut telah mengalami kegagalan multiorgan. (E-3)