
DI situasi bisnis global yang terus berubah, perusahaan Indonesia menghadapi tantangan kepatuhan dan manajemen risiko yang makin rumit. Regulasi dari berbagai negara, termasuk di sektor perbankan dan teknologi, menuntut perusahaan menyesuaikan diri dengan standar internasional.
Fenomena ini diperkuat dengan hadirnya regulasi seperti Foreign Extortion Prevention Act (FEPA) dari Amerika Serikat (AS).
Meski baru, undang-undang ini memberi sinyal bahwa pelanggaran etik atau praktik suap lintas negara tidak akan ditoleransi. Hal ini menunjukkan bahwa risiko hukum kini tidak lagi terbatas oleh batas geografis. Satu kesalahan dalam satu yurisdiksi bisa berdampak global.
Perusahaan dengan eksposur internasional, terutama yang terhubung ke jaringan supply chain global atau menerima investasi asing, wajib membangun kerangka kerja Anti-Bribery & Corruption (AB&C) serta Anti-Money Laundering (AML) yang kokoh.
Risiko tidak hanya datang dari praktik korupsi yang disengaja, tapi juga dari ketidaktahuan dan kelalaian dalam menjalankan fungsi kontrol internal. Oleh karena itu, pemahaman terhadap tren penegakan hukum menjadi kunci.
Salah satu fenomena yang kini banyak diperbincangkan adalah jeda sementara dalam penegakan FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) oleh AS. Meskipun terkesan sebagai pelonggaran, situasi ini justru mengharuskan perusahaan untuk semakin waspada.
Untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas perusahaan di Indonesia, acara “Strengthening Compliance & Risk Management in Indonesia” digelar pada 24 April 2025 di The Dharmawangsa Jakarta.
Acara ini dirancang untuk memberikan pemahaman praktis bagi para profesional di bidang legal, compliance, dan manajemen risiko.
Acara ini resmi dibuka oleh Marzuki Darusman, Penasihat Senior di Moores Rowland Indonesia, yang menekankan pentingnya pendekatan proaktif dalam menghadapi tantangan regulasi global.
“Kompleksitas regulasi internasional semakin meningkat. Perusahaan tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan reaktif, mereka harus proaktif membangun sistem kepatuhan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Managing Director Internal Audit Danantara Ahmad Hidayat hadir mewakili Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus CEO Danantara, Rosan Roeslani.
Ia menekankan bahwa kepatuhan bukan sekadar kewajiban, melainkan strategi kunci untuk menjaga keberlangsungan bisnis.
“Kepatuhan bukan hanya kewajiban, tetapi strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis,” ungkap Ahmad dalam sambutannya.
Memasuki sesi pertama, Wendy Waysong, Partner di firma hukum internasional Steptoe, mengupas berbagai regulasi penting dari Amerika Serikat, seperti Foreign Corrupt Practices Act, Foreign Prevention Act, dan Export Controls.
Ia menyoroti bahwa regulasi-regulasi tersebut dapat berdampak langsung terhadap operasional perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang perdagangan internasional.
“Kepatuhan terhadap hukum internasional bukan pilihan, ini adalah keharusan jika ingin tetap kompetitif di pasar global,” jelas Wendy.
Sesi dilanjutkan oleh Ali Burney, Partner di Steptoe, yang membahas topik tentang Sanksi Ekonomi AS, Pendanaan Terorisme, dan Hukum Anti-Pencucian Uang. Ia menekankan pentingnya kesiapan perusahaan dalam menghadapi risiko keuangan.
“Perusahaan perlu memiliki mekanisme deteksi dan pelaporan yang andal untuk mengantisipasi risiko finansial,” kata Ali.
Pada sesi berikutnya, mantan Komisioner KPK Laode M. Syarif menyoroti urgensi membangun tata kelola berbasis integritas.
Ia menekankan, “Penerapan kebijakan anti-korupsi harus menjadi bagian integral dari strategi perusahaan, bukan sekadar dokumen formalitas."
Workshop ini tidak hanya menyajikan perspektif hukum, tetapi juga menjadi wadah diskusi aktif antara pelaku usaha dan para pakar. Para peserta mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai dinamika regulasi global yang terus berkembang.
Mantan Kepala PPATK Yunus Husein menggarisbawahi pentingnya sinergi antara dunia usaha dan regulator.
“Kepatuhan finansial adalah tanggung jawab bersama antara otoritas dan pelaku usaha,” tutupnya. (Z-1)