
BERBAGAI unsur dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta komunitas muda menyatukan komitmen untuk dalam mempercepat implementasi kebijakan pengendalian rokok di daerah.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Saragih, menekankan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menjadi langkah konkret menghadapi lonjakan konsumsi rokok konvensional maupun elektronik, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, DIY tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi perokok anak tertinggi kedua di Indonesia.
"Enam dari sepuluh anak terpapar asap rokok di rumah, dan satu dari dua anak terpapar di lingkungan sekolah," kata Benget dalam keterangannya, Minggu (27/4).
Lebih lanjut, dr. Benget menyoroti tantangan dalam implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang belum optimal di berbagai daerah.
"Kebijakan KTR ini tidak boleh berhenti di level pemerintah pusat saja. Daerah juga harus bergerak aktif, karena ranah implementasinya ada di sana. Penguatan komitmen pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan regulasi ini,” tegasnya.
Dikesempatan yang sama, Direktur Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Imelda mengingatkan bahwa semangat otonomi daerah bukan hanya soal kewenangan, tetapi juga tanggung jawab.
Dalam paparannya, ia menyoroti pentingnya mekanisme pembentukan peraturan daerah (perda) yang partisipatif, berbasis kebutuhan nyata, serta disusun secara harmonis dengan regulasi nasional.
"Kebijakan yang baik harus menjawab persoalan daerah, tidak hanya copy-paste dari atas,” tegasnya.
Kemendagri juga menekankan pentingnya penguatan peran pemerintah daerah agar produk hukum daerah tidak terlalu banyak, namun tidak aplikatif. Upaya ini juga sejalan dengan target peningkatan Indeks Kepatuhan Daerah dalam penyusunan dan implementasi Peraturan Daerah tentang KTR.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono memaparkan pentingnya penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) secara tepat sasaran. Sesuai regulasi terbaru, 40% dana ini harus dialokasikan untuk bidang kesehatan, termasuk edukasi bahaya rokok, pengawasan KTR, dan layanan berhenti merokok.
Sayangnya, Risky mencatat banyak daerah yang belum memanfaatkan peluang ini secara maksimal.
“Ada potensi besar untuk membiayai kampanye anti-rokok yang kreatif dan masif, terutama untuk anak muda. Namun, lemahnya perencanaan dan minimnya koordinasi antar sektor membuat dana ini belum optimal,” jelasnya.
Selain perihal Kawasan Tanpa Rokok, perwakilan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Ni Made Shellasih juga mempresentasikan hasil survei Air Quality Monitoring di sembilan titik Kawasan Tanpa Rokok di Kota Yogyakarta, meliputi kantor kelurahan, sekolah, puskesmas, hingga restoran.
Hasilnya menunjukkan bahwa di beberapa lokasi seperti restoran pusat kota, tingkat PM2.5 bahkan mencapai kategori beracun. Pelanggaran berupa aktivitas merokok di area KTR, keberadaan asbak, dan penjualan rokok masih ditemukan.
"Bahkan, satu dari empat orang dewasa dan satu dari sepuluh anak di Yogyakarta adalah perokok aktif. Ini jelas alarm keras bagi kita semua," ujar Shella.
Ia juga menegaskan bahwa meskipun titik pengukuran berbeda, grafik pembacaan kualitas udara menunjukkan pola serupa.
“Artinya, ketika ada tempat khusus merokok di dalam ruangan, polusi asapnya tetap menyebar ke ruangan lain,” pungkasnya. (H-2)