
MENYOAL usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk menjadikan vasektomi sebagai syarat penerimaan bantuan sosial (bansos), Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan bahwa untuk menentukan sebuah kebijakan, diperlukan pertimbangan dalam menentukan berbagai hal.
“Apalagi kalau kita mengambil keputusan dengan harus mempertimbangkan nilai-nilai agama, nilai-nilai HAM dan juga ya, pertimbangan-pertimbangan yang lain lah," ungkapnya saat melakukan kunjungan ke SMA Tamansiswa Yogyakarta baru-baru ini.
Lebih lanjut, usulan vasektomi syarat bansos juga bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa vasektomi merupakan hal yang haram.
“Maka ketika saya ditanya, ya kita perlu waktu untuk mencerna idenya Kang Dedi itu," ucapnya.
Pada prinsipnya, Gus Ipul menekankan bahwa penyaluran bansos dalam kerangka perlindungan dan jaminan sosial saat ini adalah untuk dapat naik kelas.
"Untuk memiliki keterampilan dan membuka akses itu adalah program-program bansos, khususnya PKH dan juga program-program lain dari kementerian/lembaga lain yang sifatnya itu adalah untuk memberikan dukungan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Sambil kemudian nanti didukung dengan program pemberdayaan," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan bahwa vasektomi haram jika dilakukan untuk tujuan pemandulan permanen.
“Kondisi saat ini, vasektomi haram kecuali ada alasan syar’i seperti sakit dan sejenisnya,” ungkapnya.
Dia menyampaikan, Komisi Fatwa MUI menyatakan hukum vasektomi adalah haram, kecuali dalam kondisi tertentu yang memenuhi lima syarat ketat, sesuai hasil Ijtima Ulama.
Di lain pihak, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Abdul Muiz Ali, menambahkan bahwa para fakih Islam mengambil keputusan berdasarkan pada pertimbangan syariat Islam, perkembangan medis, serta kaidah-kaidah ushul fikih terkait metode kontrasepsi yang dikenal sebagai medis operasi pria (MOP).
"Vasektomi secara prinsip adalah tindakan yang mengarah pada pemandulan, dan dalam pandangan syariat, hal itu dilarang. Namun, dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan rekanalisasi (penyambungan kembali saluran sperma) maka hukum bisa menjadi berbeda dengan syarat-syarat tertentu," ujar Abdul Muiz.
Kelima syarat itu yang pertama adalah vasektomi dilakukan untuk tujuan yang tidak menyalahi syariat Islam. Kedua, vasektomi tidak menyebabkan kemandulan permanen.
“Ketiga, ada jaminan medis bahwa rekanalisasi bisa dilakukan dan fungsi reproduksi pulih seperti semula. Keempat, tidak menimbulkan mudharat bagi pelakunya. Kelima, vasektomi tidak dimasukkan ke dalam program kontrasepsi mantap,” tuturnya.
Abdul Muiz menegaskan hukum keharaman vasektomi tetap berlaku hingga kini. Sebab, rekanalisasi tidak 100% menjamin kembali normalnya saluran sperma.
"Karena hingga hari ini rekanalisasi masih susah dan tidak menjamin pengembalian fungsi seperti semula," tegasnya.
Meski begitu, dia mengakui perkembangan teknologi medis yang memungkinkan terjadinya rekanalisasi. Akan tetapi, tingkat keberhasilan operasi tersebut tetap bergantung pada banyak faktor, sehingga tidak menjamin kesuburan kembali seperti semula.
Apalagi, Abdul Muiz menerangkan rekanalisasi membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal daripada vasektomi. Oleh karena itu, MUI meminta kepada pemerintah agar tidak mengkampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal.
"Pemerintah harus transparan dan objektif dalam sosialisasikan vasektomi, termasuk menjelaskan biaya rekanalisasi yang mahal dan potensi kegagalannya," tegasnya.
MUI juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk membangun keluarga yang bertanggung jawab, sehat, dan unggul, serta tidak melupakan tugas menyiapkan generasi penerus bangsa.
Abdul Muiz menegaskan penggunaan alat kontrasepsi harus bertujuan untuk mengatur keturunan (tanzhim al-nasl), bukan untuk membatasi secara permanen (al-nasl), apalagi sebagai dalih gaya hidup bebas yang menyimpang dari ajaran agama. (H-3)