
GURU Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Profesor Telisa Aulia Falianty berpandangan lonjakan utang luar negeri (ULN) berkaitan erat dengan kondisi perekonomian nasional. Dia menyebut ULN sektor swasta yang justru mengalami kontraksi, menandakan adanya pelemahan ekonomi karena dunia usaha bersikap lebih hati-hati dalam melakukan ekspansi.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per April 2025 mencapai US$431,5 miliar (sekitar Rp7.042 triliun), naik 8,2% secara tahunan. ULN pemerintah tumbuh 10,4% menjadi US$208,8 miliar, sementara ULN swasta mengalami kontraksi 0,6%, lebih kecil dibanding bulan sebelumnya yang minus 1,0%.
"Kontraksi ini merupakan indikasi bahwa pelaku usaha mulai menahan laju ekspansi, yang dapat menjadi sinyal perlambatan ekonomi," jelas Telisa kepada Media Indonesia, Senin (16/6).
Sementara itu, dia menyebut peningkatan ULN pemerintah harus dibaca dengan lebih hati-hati karena dapat memiliki banyak makna. Dalam konteks pembiayaan fiskal, pemerintah memiliki tiga sumber utama. Yakni, penerimaan pajak, penerbitan obligasi, dan pinjaman luar negeri. Ketika pinjaman luar negeri meningkat, hal ini bisa jadi menandakan bahwa penerimaan pajak menurun atau pembiayaan melalui obligasi dikurangi.
“Kondisi ini patut diwaspadai jika kenaikan ULN terjadi karena perlambatan ekonomi yang menyebabkan penerimaan perpajakan menurun,” ujarnya.
Faktor kurs rupiah juga berperan dalam peningkatan nilai ULN. Depresiasi nilai tukar rupiah, menurut Telisa, turut mendorong lonjakan nominal utang. Oleh karena itu, menjaga stabilitas rupiah menjadi kunci penting untuk mencegah lonjakan utang berikutnya.
"Jika rupiah terus melemah, utang kita dalam denominasi asing otomatis akan terlihat meningkat. Stabilitas nilai tukar sangat krusial di tengah situasi geopolitik global yang semakin memanas," tegasnya.
Dia menekankan pentingnya memperkuat basis penerimaan dalam negeri agar ketergantungan pada pembiayaan luar negeri bisa ditekan. Pertumbuhan ekonomi domestik yang sehat akan memperkuat potensi pajak, sehingga ruang fiskal menjadi lebih longgar.
Telisa juga mengatakan pemerintah tengah melakukan efisiensi anggaran secara besar-besaran. Harapannya, langkah ini dapat membendung pembengkakan ULN lebih lanjut.
Sementara itu, pandangan berbeda disampaikan pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo. Menurutnya, peningkatan ULN pemerintah justru bisa dilihat sebagai strategi ekspansi fiskal untuk mendukung belanja negara, pembiayaan proyek infrastruktur, dan menjaga stabilitas makroekonomi.
"Selama utang digunakan untuk kegiatan produktif dan rasio terhadap PDB masih dalam batas aman, maka ULN bisa berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Meski demikian, dia mengingatkan pentingnya kewaspadaan dalam mengelola risiko. Meningkatnya beban utang tetap menuntut kehati-hatian, terutama dalam konteks volatilitas nilai tukar dan potensi kenaikan suku bunga global yang dapat meningkatkan biaya utang.
Arianto juga mencatat kontraksi ULN swasta, meskipun mulai melambat, menunjukkan adanya kehati-hatian dari sektor usaha dalam menghadapi tekanan global maupun lemahnya permintaan. Hal ini mencerminkan kondisi global yang belum sepenuhnya kondusif bagi ekspansi bisnis swasta.
Secara keseluruhan, Arianto menyimpulkan pembengkakan utang luar negeri tidak bisa serta-merta ditafsirkan sebagai gejala pelemahan ekonomi. Analisis yang lebih komprehensif diperlukan, dengan mempertimbangkan arah kebijakan fiskal, strategi pembiayaan, serta kualitas penggunaan utang. Yang paling penting, katanya, menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan dan keberlanjutan fiskal di tengah ketidakpastian global. (H-3)