
PRESIDEN Donald Trump semakin menunjukkan visi luar biasa tentang kewenangannya dalam beberapa bulan terakhir. Ia mengandalkan keputusan Mahkamah Agung tahun lalu yang memberikan kekebalan dari tuntutan pidana sebagai landasan untuk memperluas kekuasaannya. Dengan dasar ini, Trump berupaya memperkuat kendali eksekutifnya, salah satunya dengan memberhentikan pejabat pengawas independen.
Langkah Trump ini mendapat dukungan dari pengacaranya serta Departemen Kehakiman, yang mulai menggunakan keputusan Mahkamah Agung dalam berbagai kasus hukum, termasuk larangan terhadap TikTok dan pembenaran pemecatan pejabat yang memimpin lembaga independen. Kasus pemecatan seorang kepala lembaga pengawas pada 7 Februari lalu menjadi ujian pertama bagi Mahkamah Agung terkait agenda Trump di periode keduanya.
Pemecatan Pejabat dan Ujian Mahkamah Agung
Dalam pengajuan resminya, Departemen Kehakiman secara agresif merujuk pada kasus Trump v. US. Dalam dokumen tersebut, pemerintah menegaskan baik Kongres maupun hakim federal tidak boleh mencampuri keputusan presiden dalam memberhentikan pejabat yang sebelumnya diangkat presiden lain.
"Kasus ini merupakan bentuk serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pemisahan kekuasaan," tulis Departemen Kehakiman dalam upayanya untuk mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan yang mempertahankan Hampton Dellinger sebagai kepala lembaga independen yang melindungi pelapor pelanggaran (whistleblowers).
Pengajuan ini mempertegas pandangan keputusan Mahkamah Agung tahun lalu memperkuat kekuasaan presiden dalam ranah eksekutif. Dengan demikian, keputusan Trump untuk memecat pejabat yang bertentangan dengan kebijakannya diharapkan dapat berjalan tanpa hambatan hukum.
Trump Klaim Kekuasaan Tak Terbatas
Sejalan dengan tindakan hukumnya, Trump juga semakin vokal dalam menyatakan cakupan kekuasaannya. Ia sering mengeluarkan perintah eksekutif dan menegaskan dirinya memiliki otoritas penuh dalam mendefinisikan dan menerapkan hukum.
“Dia yang menyelamatkan negaranya tidak melanggar hukum apa pun,” tulis Trump dalam unggahan di media sosial pada Sabtu lalu.
Sejak memenangkan masa jabatan kedua, Trump menerapkan kebijakan yang memperkuat klaim kekuasaannya. Kebijakan ini tercermin dalam keputusan personalia, instruksi eksekutif, serta posisinya dalam berbagai kasus hukum yang dihadapi.
Menurut Michael Gerhardt, profesor hukum konstitusi dari University of North Carolina, tindakan Trump menunjukkan upaya untuk menegaskan presiden memiliki kekuasaan mutlak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun, ia menekankan pandangan ini bertentangan dengan prinsip dasar Konstitusi AS, yang menegaskan tidak ada yang berada di atas hukum.
Lebih lanjut, Gerhardt mengkritik Trump dan tim hukumnya karena salah menginterpretasikan kasus Trump v. US. Kasus tersebut sebenarnya lebih berfokus pada pertanggungjawaban presiden di bawah hukum, bukan sebagai alat untuk menghindari semua bentuk pengawasan hukum.
Pengacara Pribadi Trump Kini Memimpin Departemen Kehakiman
D. John Sauer, yang sebelumnya mewakili Trump dalam kasus yang menghasilkan keputusan Mahkamah Agung terkait kekebalan presiden, kini diangkat sebagai Solicitor General atau pengacara pemerintah tertinggi di Mahkamah Agung.
Sauer juga berperan dalam kasus TikTok, di mana ia meminta Mahkamah Agung menunda keputusan terkait platform media sosial populer asal Tiongkok hingga Trump kembali menjabat. Dalam pengajuan hukumnya, Sauer menulis Trump memiliki "keahlian negosiasi terbaik" dan berhak menunda larangan terhadap TikTok sambil mengatasi masalah keamanan nasional.
Selain itu, tim hukum Trump juga menggunakan keputusan Trump v. US untuk membantah hukuman yang dijatuhkan atas kasus uang diam di Manhattan. Mereka berargumen keputusan Mahkamah Agung harus melindungi Trump dari proses hukum yang terjadi selama masa transisi kepresidenan.
Pertarungan Hukum di Mahkamah Agung
Tim hukum Trump saat ini sedang berjuang agar pemecatan Hampton Dellinger dapat segera berlaku. Dellinger, yang ditunjuk Presiden Joe Biden dan dikonfirmasi Senat pada Maret 2024 untuk masa jabatan lima tahun, menggugat pemecatannya dan berargumen hukum hanya mengizinkan pemberhentiannya dalam kasus ketidakefisienan, kelalaian tugas, atau penyalahgunaan wewenang.
Sejauh ini, pengadilan tingkat rendah berpihak pada Dellinger. Namun, Mahkamah Agung dalam beberapa tahun terakhir telah mengambil keputusan yang cenderung memperkuat kekuasaan eksekutif. Dalam beberapa kasus sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan pembatasan terhadap kekuasaan presiden untuk memecat pejabat lembaga independen merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi.
Dellinger mengajukan banding agar ia tetap di posisinya sementara pengadilan lebih rendah melanjutkan pemeriksaan kasusnya. Pengacaranya menegaskan keputusan pengadilan federal yang mengizinkannya tetap menjabat seharusnya tidak dianggap sebagai gangguan serius terhadap kekuasaan presiden.
Mahkamah Agung dan Reaksi terhadap Klaim Trump
Dalam kasus TikTok, Mahkamah Agung menolak permintaan Trump untuk menunda keputusan, sehingga larangan tetap berlaku pada 19 Januari. Namun, setelah kembali menjabat, Trump menangguhkan larangan tersebut selama 75 hari.
Selain itu, Mahkamah Agung juga tidak membatalkan vonis pidana Trump di Manhattan, dengan mayoritas 5-4, mengingat hakim pengadilan sebelumnya telah menyatakan Trump tidak akan dijatuhi hukuman penjara.
Dalam kasus Dellinger, pemerintah Trump mengajukan argumen keputusan pengadilan federal yang membatalkan pemecatannya merupakan gangguan yang serius terhadap kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung Sementara Sarah Harris menulis dalam pengajuannya pengadilan distrik telah berkali-kali menghambat kebijakan Presiden Trump sejak ia menjabat kembali. Mahkamah Agung harus turun tangan untuk menegakkan kewenangan presiden.
Dengan berbagai pertarungan hukum yang sedang berlangsung, keputusan Mahkamah Agung dalam kasus ini akan menjadi ujian utama bagi pemerintahan Trump. Apakah Trump benar-benar memiliki kewenangan tanpa batas seperti yang diklaimnya? Keputusan Mahkamah Agung dalam beberapa bulan ke depan bisa menjadi penentu arah kebijakan eksekutif Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump. (CNN/Z-2)