
PEMERINTAH Vietnam tengah menggencarkan penindakan terhadap peredaran barang palsu. Ini menjadi upaya merespons kekhawatiran AS yang menuduh negara itu menjadi pusat produksi dan distribusi barang tiruan.
Langkah itu dilakukan di tengah ancaman tarif hingga 46% yang dapat diberlakukan Presiden AS Donald Trump pada Juli mendatang. Sejak tudingan tersebut muncul, masyarakat seperti Tran Le Chi mulai kesulitan menemukan produk-produk tiruan favorit mereka, seperti kaus Chanel, kacamata Gucci, dan tas Louis Vuitton yang biasa ia beli dengan mudah.
"Pakaian itu membantu saya tampil trendi," ujar Chi. "Mengapa saya harus peduli apakah itu palsu atau tidak?"
Chi, yang bekerja sebagai agen taruhan untuk permainan judi ilegal lo-de, mengatakan dirinya tak pernah membayar lebih dari US$40 untuk satu barang bermerek. "Hanya orang-orang superkaya yang mampu membeli yang asli. Itu bukan untuk orang-orang seperti kita," tambahnya.
Vietnam, yang merupakan pusat manufaktur bagi berbagai merek pakaian dan alas kaki global, mencatat Amerika Serikat sebagai pasar ekspor utamanya dalam lima bulan pertama 2025. Namun di sisi lain, pasar barang palsu di negara ini juga tumbuh dengan cepat.
Laporan dari Perwakilan Dagang AS pada Januari lalu menyebut Saigon Square--pusat perbelanjaan terkenal di Kota Ho Chi Minh--sebagai salah satu lokasi utama penjualan barang-barang mewah tiruan, termasuk tas, dompet, perhiasan, dan jam tangan. Laporan tersebut mengakui ada pemberantasan dari pemerintah Vietnam, tetapi menilai hukuman yang rendah tidak memiliki efek jera dan produk palsu masih merajalela.
Seorang pemilik toko bernama Hoa, yang menggunakan nama samaran demi keamanan, mengungkapkan bahwa sebagian besar barang bermerek palsu seperti Nike, Lacoste, dan North Face yang dijualnya sebenarnya berasal dari Tiongkok. Namun, produk tersebut diberi label Made in Vietnam agar tampak legal.
"Klien saya ialah mereka yang tidak mampu membeli produk asli," katanya. "Saya tidak pernah menipu siapa pun," tambahnya.
Sebagai bagian dari strategi menghadapi ancaman tarif AS, pemerintah Vietnam telah mengeluarkan instruksi pada April lalu untuk memperketat pengawasan terhadap asal-usul barang. Pemerintah juga menegaskan komitmennya melalui kampanye penindakan selama tiga bulan yang berlangsung hingga pertengahan Agustus.
Wakil Kepala Badan Pengawasan dan Pengembangan Pasar Domestik, Nguyen Thanh Nam, menyatakan bahwa lebih dari 7.000 kasus barang palsu dengan nilai total lebih dari US$8 juta ditemukan dalam lima bulan pertama 2025, termasuk 1.000 jam tangan Rolex tiruan yang disita dari Saigon Square.
Barang-barang palsu seperti vitamin, kosmetik, dan permen tampak dibuang dalam jumlah besar di luar kota-kota besar seperti Hanoi, Kota Ho Chi Minh, dan Danang. Sementara itu, barang elektronik palsu seperti pengeras suara Marshall dan jam tangan pintar diamankan pihak berwenang.
Meski belum diketahui asal pasti barang-barang tersebut, Vietnam tercatat sebagai importir terbesar produk Tiongkok di Asia Tenggara pada 2024 dengan nilai pembelian mencapai US$161,9 miliar.
Peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, Nguyen Khac Giang, menilai bahwa kampanye ini juga memiliki tujuan domestik. "Upaya tersebut sebagian mencerminkan niat Vietnam untuk menunjukkan ketanggapan terhadap kekhawatiran AS," ujarnya.
Ia menyebut langkah ini juga dimaksudkan untuk memperbaiki iklim bisnis dan memformalkan sektor ritel. Namun, dampak dari kebijakan ini dirasakan langsung oleh para pedagang kecil seperti Hoa.
Toko miliknya telah tutup selama hampir dua minggu dan ia belum menemukan cara untuk memulai kembali bisnisnya. "Saya menjual pakaian semacam ini selama satu dekade dan tidak mengalami masalah sama sekali. Sekarang mereka menindak kami. Sulit mencari tahu bagaimana saya bisa melanjutkannya," keluhnya. (AFP/I-2)