Sinodalitas di Atas Batu Karang:  Paus Baru, Zaman Baru, Jalan Bersama

5 hours ago 1
  Paus Baru, Zaman Baru, Jalan Bersama (Dokpri)

KEPEMIMPINAN dalam Gereja Katolik memiliki dimensi teologis, pastoral, dan kultural yang luas. Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik bukan sekadar pemegang otoritas hierarkis, tetapi juga simbol persatuan dan pengganti Santo Petrus di dunia (Catechism of the Catholic Church, 1992, no. 882). Oleh karena itu, wafatnya seorang Paus bukan hanya menjadi peristiwa organisasi, tetapi juga pengalaman spiritual yang mengguncang kehidupan batin umat Katolik sedunia.

Wafatnya Paus Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio) dalam usia 88 tahun menjadi duka mendalam bagi banyak kalangan. Selama masa pontifikatnya (2013–2025), ia dikenal sebagai pelopor reformasi yang menekankan ekologi integral, dialog lintas iman, dan semangat sinodalitas. Dalam ensiklik Laudato Si', ia menulis, "Krisis ekologis merupakan akibat dari kesadaran manusia yang terputus dari ciptaan." (Francis, 2015, no. 49). Dalam Fratelli Tutti, ia menyerukan, "Persaudaraan sejati hanya dapat tumbuh dari kasih tanpa batas kepada sesama." (Francis, 2020, no. 92).

Rasa kehilangan dirasakan secara global. Liturgi requiem dilangsungkan di banyak keuskupan, dan ribuan umat mengadakan adorasi, doa novena, serta refleksi bersama atas warisan spiritual Paus Fransiskus. Bukan hanya umat Katolik yang berduka, tetapi juga tokoh-tokoh agama lain, pemimpin dunia, dan organisasi kemanusiaan yang pernah menjalin dialog atau kolaborasi dengannya. Media internasional seperti Vatican News dan National Catholic Reporter menampilkan berbagai testimoni yang menyatakan bahwa Paus Fransiskus adalah, "Hati nurani dunia dalam masa krisis." (Vatican News, 2025).

Namun dalam iman Kristiani, duka bukanlah akhir. Gereja percaya bahwa Roh Kudus senantiasa menyertai dan membimbingnya. Dalam kata-kata Konsili Vatikan II, "Kristus selalu hadir dalam Gereja-Nya, khususnya dalam tindakan-tindakan liturgi dan kepemimpinan yang sah." (Lumen Gentium, 1964, no. 7).

Dari duka mendalam menuju sukacita rohani

Masa sede vacante menjadi titik refleksi dan penantian yang menguji kedalaman iman umat. Para Kardinal, berdasarkan ketentuan Kitab Hukum Kanonik (Code of Canon Law, 1983, Kan. 349-359), berkumpul di Kapel Sistina, Vatikan, dalam konklaf tertutup untuk memilih Paus baru

Dua hari pertama konklaf menghasilkan dua kali asap hitam tanda bahwa konsensus belum tercapai. Asap hitam itu sendiri menjadi simbol kegelisahan: bukan hanya soal siapa yang akan terpilih, tetapi juga apakah Gereja akan terus melanjutkan jalan pembaruan yang telah dirintis.

Akhirnya, pada hari ketiga konklaf, tepat pukul 12.30 WIB, asap putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina. Isyarat ini segera disambut sorak sorai di Lapangan Santo Petrus dan jutaan umat di berbagai belahan dunia menyaksikannya melalui siaran langsung media seperti KompasTV, Metro TV, dan TVOne. Kardinal Protodiakon kemudian mengumumkan, "Habemus Papam." dan nama yang disebutkan adalah Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A., yang memilih nama Paus Leo XIV.

Paus Leo XIV lahir di Chicago, Amerika Serikat, pada 14 September 1955, dan saat terpilih berusia 69 tahun (Vatican News, 2023). Sebelumnya, ia menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup posisi strategis dalam Kuria Roma yang menunjukkan kepercayaan tinggi dari Paus Fransiskus. Dalam wawancaranya sebelum konklaf, ia menyatakan, "Kesetiaan kepada Injil dan keberanian pastoral harus berjalan beriringan dalam zaman ini." (America Magazine, 2023).

Pemilihan nama Leo merujuk pada Paus Leo I Agung yang memimpin Gereja pada abad ke-5 dan dikenal karena konsili Khalsedon serta pertahanannya terhadap serangan bangsa Hun. Referensi historis ini memberi pesan bahwa Paus Leo XIV hendak menggabungkan ketegasan doktrinal dengan kepekaan pastoral.

Harapan baru dalam tantangan global

Harapan besar kini terarah pada Paus Leo XIV. Gereja Katolik memasuki era yang diwarnai tantangan besar: kemerosotan jumlah imam di Eropa, sekularisasi budaya Barat, krisis lingkungan, perang dan migrasi global, serta pertanyaan-pertanyaan etis seputar kecerdasan buatan dan digitalisasi kehidupan manusia. 

Dalam pidato perdananya dari balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV menekankan bahwa “Gereja dipanggil untuk menjadi mercusuar harapan dalam dunia yang terpecah-pecah” (Vatican News, 2025).

Sebagai seorang misionaris Ordo Santo Agustinus (O.S.A.), beliau membawa spiritualitas dialog, pelayanan pada kaum miskin, dan kepekaan terhadap pluralitas budaya. Gaya kepemimpinannya yang dikenal sebagai terbuka dan kolaboratif mengundang optimistis bahwa sinodalitas semangat berjalan bersama akan semakin diperkuat. Dokumen Synodality in the Life and Mission of the Church (International Theological Commission, 2018) telah menjadi landasan penting untuk arah ini.

Selain itu, keterlibatannya dalam reformasi Kuria Roma menjadikannya sosok yang memahami kebutuhan internal Gereja universal. Harapannya, kepemimpinannya akan memperkuat struktur pelayanan Gereja sekaligus mendengarkan suara umat dari pinggiran.

Penutup 

Transisi dari Paus Fransiskus ke Paus Leo XIV adalah suatu momen krusial yang menunjukkan dinamika dan keteguhan Gereja dalam menghadapi arus zaman. Dari duka mendalam, umat Katolik dibawa kepada harapan baru yang menguatkan iman. Seperti dinyatakan dalam Evangelii Gaudium, "Iman sejati bersinar paling terang ketika dilandasi oleh harapan yang aktif dan berakar dalam kasih." (Francis, 2013, no. 6).

Gereja, melalui kuasa Roh Kudus, terus diperbarui bukan dengan kekuatan duniawi, tetapi melalui kesetiaan pada Kristus dan solidaritas umat beriman. 

Paus Leo XIV, sebagai gembala baru, kini menjadi wajah harapan dan persatuan bagi umat Katolik sedunia. Semoga dengan bimbingan Roh Kudus, beliau mampu menuntun Gereja dalam kebenaran, kerendahan hati, dan keberanian profetis sebagaimana dituntut oleh zaman ini.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |