
DUNIA Islam menguji efektivitas realisme politik dan unilaterailisme pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump. Pada 7 Maret, 57 pemimpin negara muslim berkumpul di Jeddah, Arab Saudi, untuk mengikuti Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terkait dengan rekonstruksi Jalur Gaza tanpa merelokasi warganya.
KTM Luar Biasa OKI itu merupakan kepanjangan dari KTT Darurat Liga Arab yang telah berlangsung di Kairo, Mesir, pada 4 Maret. Dus, dua event ini digabungkan menjadi rencana Arab-Islam. Rencana Arab-Islam (Dunia Islam) mengadopsi rancangan rekonstruksi Gaza pascaperang yang dirancang Mesir.
Sikap dunia Islam itu tak bisa dilepaskan dari proposal Trump yang hendak mendepopulasi Gaza dengan merelokasi 2,3 juta penduduknya ke Mesir dan Yordania. Pemerintahan PM Benjamin Netanyahu, yang tak dapat menundukkan Hamas setelah 15 bulan genosida di Gaza, menyambut proposal Trump. Namun, ide yang tidak masuk akal itu serta-merta ditolak Arab.
PBB dan badan-badan HAM internasional bahkan menyatakan proposal Trump identik dengan ethnic cleansing. Karena ditolak dunia internasional, sementara Israel tak bisa menerima fakta bahwa Hamas tetap survive, Netanyahu menawarkan gagasan baru: perpanjangan gencatan senjata fase pertama yang telah berakhir pada 1 Maret. Fase itu berlaku sampai 20 April dengan tuntutan Hamas membebaskan setengah dari 59 sandera Yahudi yang masih ditahan tanpa komitmen berunding pada fase kedua.
Pasalnya, fase kedua akan berujung pada ditariknya militer Israel (IDF) dari seluruh Gaza, gencatan senjata permanen diberlakukan, dan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa hambatan. Imbalannya, Hamas membebaskan seluruh sisa sandera. Yang menjadi fokus Netanyahu ialah tanpa depopulasi Gaza--yang otomatis akan melenyapkan Hamas--di tengah meluasnya populeritas kelompok itu, two-state solution menjadi imperatif untuk diwujudkan.
Untuk menekan Hamas, Netanyahu memblokade bantuan kemanusiaan dan memutuskan aliran listrik dan air ke Gaza yang sedang kelaparan. Bahkan, IDF mulai melancarkan kembali serangan ke Gaza. Sementara itu, AS bergegas mengirim persenjataan senilai US$4 miliar kepada Israel sebagai bagian dari bantuan US$14 miliar yang dijanjikan Trump. Untuk meningkatkan daya ungkitnya, Trump ancam akan menciptakan neraka di Gaza bila sandera tidak dibebaskan segera.
Namun, dalam beberapa minggu terakhir, Utusan Khusus AS untuk Urusan Sandera, Adam Koehler, berunding dengan Hamas di Doha, Qatar, terkait dengan pembebasan sandera dan pengakhiran perang. Langkah itu mengejutkan. Inilah pertama kalinya AS berhubungan langsung dengan Hamas yang sejak 1997 ditetapkan sebagai organisasi teroris. Peristiwa itu mengindikasikan AS tak yakin jalan militer akan berhasil. Juga mengisyaratkan Trump tak ingin perang berlanjut yang akan menyedot dana dan menggerus pengaruh AS di kawasan.
PENTINGNYA KTM OKI
Sikap OKI berfungsi memberi dukungan moril dan politik kepada sikap Liga Arab. Rencana Arab-Islam berisi antara lain, pertama, setelah gencatan senjata permanen dicapai, para teknokrat Palestina yang independen akan mengambilalih Gaza selama enam bulan untuk memulai penyingkiran 50 juta ton puing dan bom-bom yang tidak meledak. Keamanan Gaza selama rekonstruksi akan dijaga oleh polisi Palestina yang dilatih Mesir dan Yordania.
Kedua, setelah enam bulan, Gaza akan diambilalih oleh Otoritas Palestina yang telah direformasi dengan dukungan pasukan Arab, negara muslim, dan pasukan perdamaian PBB. Menurut asesmen Bank Dunia dan PBB, rekonstruksi Gaza akan menelan biaya sebesae US$53 miliar selama lima tahun. Sebagian akan disumbangkan negara-negara Arab dan donatur internasional. Diharapkan anggota OKI ikut berkontribusi.
Ketiga, Hamas tidak lagi berperan di Gaza. Hamas menerima proposal itu, tapi menolak senjatanya dilucuti. Kendati tak menginginkan Hamas berperan di Gaza, kehadiran kelompok itu di tengah masyarakat Gaza yang bersimpati kepadanya tak dapat diabaikan pada saat ini. Tidak mungkin rekonstruksi bisa dimulai tanpa dukungan Hamas yang militernya masih koheren. Harapan Liga Arab, pengaruh Hamas akan redup seiring dengan perjalanan waktu .
Dalam konteks persaingan AS-Tiongkok, peran dunia Islam lumayan signifikan. AS melihat Islam sebagai variabel yang dapat digunakan untuk menghadang pengaruh Tiongkok. Karena secara konsisten mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina dan kekuatan ekonomi serta kemajuan teknologinya, dunia Islam merangkul Tiongkok untuk mengimbangi pengaruh AS. Terlebih Tiongkok sangat bergantung pada energi Timteng dan secara geografis kawasan itu strategis untuk mendukung proyek infrastruktur globalnya.
Negara model Tiongkok yang efisien dan berkemajuan belakangan ini dilirik banyak negara di dunia selatan (global south), yang repot berurusan dengan demokrasi dan HAM yang jadi alat hegemoni Barat. Terlebih bantuan ekonomi Tiongkok--lepas dari dugaan ia menggunakannya sebagai perangkap utang (debt trap)--tanpa syarat memberatkan sebagaimana diberlakukan institusi-institusi keuangan global yang didominasi Barat disambut luas.
Dus, kalau Trump mengabaikan aspirasi dunia Islam bagi gagasan two-state solution, kompetisinya dengan Tiongkok akan cukup berat. Apalagi Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia mendukung sikap dunia Islam terhadap Gaza pascaperang. Perlu juga diingat bahwa beberapa anggota OKI--Indonesia, Malaysia, Turki, Iran, Arab Saudi, UEA, dan Mesir--tergabung dalam blok ekonomi global bernama BRICS. BRICS, dengan rencana dedolarisasi, diniatkan menjadi kekuatan tandingan vis a vis AS yang menggunakan kekuatan ekonominya untuk melestarikan imperialismenya.
RESISTANSI NETANYAHU
Bagaimanapun, rencana Arab-Islam yang juga berisi komitmen pada perjuangan Palestina memperoleh negara berdaulat, mendapat resistansi Netanyahu. Ia menganggap itu sikap lama yang tidak lagi relevan dengan realitas baru di Timteng. Memang dalam komunikenya, KTT Liga Arab menawarkan perdamaian komprehensif dengan Israel yang merupakan Inisiatif Perdamaian Arab rancangan Arab Saudi yang diadopsi Liga Arab dalam KTT-nya di Beirut, Libanon, pada 2002. Inisiatif itu menawarkan two-state solution berbasis resolusi-resolusi DK PBB.
Berlawanan dengan pandangan Netanyahu, prinsip two-state solution justru semakin relevan saat ini. Itu terlihat dari semakin banyak negara yang mengakui negara Palestina sejak perang Hamas-Israel pecah pada 7 Oktober 2023. Two-state solution telah menjadi konsensus internasional untuk menghadirkan keadilan bagi Palestina dan menjaga ketertiban dunia. Resistansi Netanyahu malah terlihat tidak bermoral dan tidak rasional, yang hanya bertujuan mempertahankan kepentingan pribadinya untuk tetap berkuasa.
Toh, tujuan perang Netanyahu untuk menghancurkan Hamas dan mengusir warga Gaza tidak tercapai. Kalau perang dihentikan sekarang, pemerintahan koalisi Israel akan runtuh. Agar kekuasaannya terjaga, perang harus terus berlangsung di Tepi Barat atau Gaza sampai tujuan perang Netanyahu tercapai yang sekaligus dipandang akan melenyapkan gagasan two-state solution.
KONTRIBUSI TRUMP
Begitu menduduki Gedung Putih, Trump menyatakan ingin menjadi peace maker. Namun, kebijakannya kontradiktif dengan cita-cita itu. Segera setelah berkuasa, ia mencabut sanksi terhadap organisasi-organisasi Yahudi di wilayah pendudukan yang menyerang, membunuh, dan merampas tanah-tanah Palestina. Akibatnya, mereka semakin ganas. Ia juga mencabut pembatasan pendahulunya yang menahan bom-bom seberat 973 kg tidak dikirim ke Israel.
Akibat dukungan tanpa reserve terhadap Israel, pengaruh AS di kawasan merosot drastis. Padahal, Timteng yang kaya energi dengan 500 juta populasi masih strategis bagi kepentingan AS saat Tiongkok semakin jauh menancapkan pijakannya di sana. Berunding dengan Hamas menjanjikan keberhasilan sepanjang Trump tidak menjalankan unilateralisme dan realisme politik yang intimidatif dan parsial. Ancaman menjadikan Gaza neraka tak berguna, AS tak punya kartu tawar untuk mendikte kehendaknya terhadap Palestina dan Arab.
Apalagi Hamas secara mengejutkan menawarkan konsesi kepada Boehler berupa pembebasan seorang sandera hidup berkewarganegaran ganda AS-Israel bersama empat jenazah asalkan Israel membebaskan lebih banyak tahanan Palestina dan berkomitmen beranjak ke fase kedua. Setelah Netanyahu memprotes perundingan Hamas-Boehler, Trump menanggalkan status Boehler dan menganulir kesepakatan yang dibuat dengan Hamas.
Posisi Boehler digantikan Utusan Khusus Trump untuk Timteng, Steve Witkoff. Lagi-lagi Hamas membuat konsesi pembebasan seluruh sandera sekaligus dengan syarat lebih banyak tahanan Palestina dibebaskan dan Israel bersedia beranjak ke fase kedua. Itu merupakan tawaran yang mestinya tak dapat ditolak. Namun, kalau Netanyahu tetap ngotot melanjutkan perang dan Trump mendukungnya, keduanya akan kehilangan dukungan publik domestik dan internasional.