
PADA sidang umum yang kelima (Quinta Congregazione generale) yang lalu (28/04/2025), 180 kardinal yang berkumpul di Vatikan telah memutuskan bahwa conclave akan dimulai pada 7 Mei 2025. Seluruh rangkaian conclave akan dimulai dengan perayaan ekaristi pro eligendo Romano Pontifice (untuk memilih Paus Roma) di Basilika Santo Petrus, Vatican. Itu berarti pada hari-hari setelahnya Gereja Katolik Roma dipastikan akan memiliki seorang Paus yang baru, penerus St. Petrus yang ke 267. Pertanyaannya adalah siapakah paus berikutnya?
Warisan Paus Fransiskus
Diskusi mengenai siapa penerus Santo Petrus pasca wafatnya seorang paus adalah hal yang wajar dalam lingkungan Gereja Katolik. Pertanyaannya adalah, apakah paus baru nantinya akan meneruskan spirit riforma paus Fransiskus?
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai warisan Paus Fransiskus. Pertama, secara fundamental barang kali dapat dikatakan bahwa Paus Argentina ini telah membawa satu langkah lebih maju gagasan-gagasan dari konsili Vatikan II yang oleh Gereja sendiri belum diaktualisasikan secara maksimal.
Dalam arti tertentu dapat dikatakan, bahwa Fransiskus adalah penafsir terbaik Konsili Vatikan II. Fransiskus memulai proyeknya dengan sebuah pembalikan radikal ini: mendesakralisasi mitos konstantinisme, yakni sebuah ilusi yang memandang kekristenan sebagai sebuah ‘imperium’ yang kokoh dan sempurna; sebuah societas perfecta yang tanpa cacat. Selama berabad-abad mitos ini telah berhasil meng-konsekrasi otoritas politik dan kekuasaan temporal gereja. (S. Adamiak dan S, Tanzarella (ed.), 2013). Kekristenan ala konstantinus dianggap telah menjadi ‘rezim’ di dalam sejarah Gereja yang melanggengkan aspek keduniawian dan formalitas institusional Gereja.
Akan tetapi mitos konstantinisme ini ternyata dianggap terlalu eksklusif. Ia menjamin sentralisasi kekuasaan dan merawat tumbuhnya klerikalisme di dalam Gereja. Ia juga merepresentasikan Gereja sebagai realitas homogen. Ia tidak terbuka pada realitas lain yang berbeda; seperti Gereja yang miskin, yang rentan, ‘gereja yang berada di pinggiran’, dan Gereja yang ‘sakit’. Di sisi lain, karena mitos ini, Gereja kehilangan ciri yang paling fundamental dari identitasnya: sebagai paguyuban orang-orang beriman.
Kedua, Fransiskus tampaknya menghadirkan kembali tegangan permanen antara tradisi dan perubahan. Ia mulai membuka ‘pintu gereja’. Gereja diajak bergerak keluar, tidak saja secara geografis tetapi juga secara eksistensial. Model Gereja yang diimpikan Fransiskus adalah Gereja yang membuka diri, Gereja yang berani keluar dari ‘kemegahan dan kesempurnaan-nya’ menuju Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan (EG, No. 49/2013).
Inilah model Gereja yang memiliki ciri inklusif. Gereja ini digambarkan sebagai rumah bersama bagi semua orang: tidak saja tempat untuk orang-orang suci tetapi juga untuk orang-orang berdosa. Karena konsep eklesiologi inilah yang membuat ‘Gereja ala Fransiskus’ menjadi Gereja yang aktif terlibat di dalam masalah aktual dunia: persoalan eklogis, perdamaian dunia, masalah imigran, dan sebagainya.
Ketiga, tentu saja kita patut mengenang Paus Bergoglio karena telah berjasa mempersiapkan Gereja Katolik Roma menuju diversitas, baik dari aspek eklesiologi maupun teologis. Paus dari Serikat Yesus (SJ) ini telah membawa Gereja ke seluruh dunia dan membawa dunia ke dalam rangkulan Gereja Roma. Dia tidak lagi berorientasi pada romanisasi dunia, sama seperti para pendahulunya, tetapi sedemikian rupa membawa dunia yang berbeda-beda ke Roma, misalnya melalui proyek sinodalitas yang dilaksanakan pada 2021-2024, di mana Paus menuntut keterlibatan dan partisipasi dari semua elemen di dalam Gereja universal untuk berjumpa bersama, saling mendengarkan dan berdiskusi bersama tentang iman dan gereja.
Wajah baru Collegio Cardinalizio
Model Gereja ala Fransiskus yang siap pada diversitas di masa depan salah satunya direpresentasikan melalui ‘wajah baru’ para kardinal. Kita bisa membandingkannya dengan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya: misalnya, Paus Yohanes Paulus II mengangkat 41 kardinal (5 pemilih (electors) dan 36 bukan pemilih (non-electors).
Benediktus XVI 62 kardinal (22 pemilih dan 40 bukan pemilih), di mana mayoritas dari para kardinal tersebut adalah orang-orang Eropa. Hal itu berbeda dengan yang dilakukan oleh Paus Fransiskus di mana ia memilih 149 kardinal (108 pemilih dan 41 bukan pemilih) yang berasal dari berbagai negara.
Jumlah kardinal saat ini adalah 252 orang, di mana 135 adalah kardinal pemilih (electors) dan 117 bukan pemilih (non-electors). Dari jumlah ini kita dapat mengidentifikasikannya berdasarkan petaan geografis: terdapat 144 kardinal dari Eropa (53 pemilih dan 61 bukan pemilih), dari Amerika Utara ada 28 kardinal (16 pemilih dan 12 bukan pemilih). Lalu, dari Amerika Tengah ada 8 kardinal (4 pemilih dan 4 bukan pemilih), dari Amerika selatan ada 32 kardinal (17 pemilih dan 15 bukan pemilih). Selanjutnya, dari Asia ada 37 kardinal (23 pemilih dan 14 bukan pemilih); Oceania ada 4 kardinal (semuanya kardinal pemilih); Afrika ada 29 kardinal (18 pemilih dan 11 bukan pemilih).
Dan dari Indonesia sendiri ada 2 orang kardinal: Darmaatmadja Card. Julius Riyadi, SJ (bukan pemilih) dan Suharyo Hardjoatmodjo Card. Ignatius (pemilih) (press.vatican.va).
Dari data ini, ada beberapa hal menarik untuk dicermati, yakni mayoritas kardinal pemilih (yang sampai saat ini berjumlah 135 orang) adalah orang-orang dari luar Eropa. Dan dari itu terdapat 108 orang kardinal pemilih yang diangkat oleh Fransiskus. Artinya Paus Fransiskus telah mereformasi komposisi anggota kardinal yang sebelumnya berciri eropasentris kemudian berubah dan berciri internasional.
Melalui data komposisi para kardinal ini, kita juga melihat bahwa Gereja Katolik Roma telah bergerak dari dunia Utara ke Selatan; dari dunia pertama ke realitas dunia ketiga. Kita mengharapkan bahwa keterwakilan para kardinal dari entitas yang beraneka ragam dapat memberi warna baru pada conclave 2025. Terutama, jika dipertimbangkan dari keragaman bahasa, budaya, latar belakang situasi sosial-politik, serta preferensi model eklesiologi dan teologi.
Conclave 2025: dari extra ommnes menuju habemus papam
Conclave adalah sebuah perpaduan antara simbol dan misteri; kesempatan untuk berdoa dan kompromi ‘politik’; sebuah asa kembali ke masa lalu (tradisi) dan sekaligus berjalan ke masa depan. Conclave adalah gambaran daya kerja dan upaya manusia yang lemah dan rapuh, di satu sisi, dan di sisi lain sebagai wujud nyata dari kehendak Hyang Ilahi atas Gereja yang sedang berziarah di dunia ini. Dan persis di sinilah pertemuan itu terjadi: yang spiritual dan yang duniawi berkolaborasi di ruang conclave di bawah mahakarya Pengadilan Terakhir Michaelangelo.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam ruang conclave sendiri terdapat prinsip yang mesti dijunjung tinggi oleh semua peserta: kebebasan yang absolut dan kerahasiaan. Dan untuk menjamin dua asas utama ini, maka conclave selalu dijalankan dengan suasana doa yang hening. Dimensi spiritual dari conklave diperlihatkan dari ritus berikut: sambil menyanyikan lagu Veni Creator (Datanglah Roh Kudus) para peserta conclave melakukan prosesi yang khusuk dari Kapela Paolina di Istana Apostolik Vatikan menuju Kapel Sistina, tempat pemilihan berlangsung. Setibanya di sana mereka langsung mengucapkan sumpah dengan meletakkan tangan di atas Injil berdasarkan forma yang telah ditetapkan oleh Vatikan (UDG, No. 52).
Langsung setelahnya, pemimpin upacara berseru dengan lantang: extra omnes! (semua keluar!); yang berarti sebuah perintah keluar untuk orang-orang tidak berhak berpartisipasi di dalam conklave, misalnya para petugas liturgi yang melayani prosesi. Dan sejak saat itulah para kardinal pemilih (electors), mereka yang berusia di bawah 80 tahun, ‘dikurung’ dari dunia luar sampai pada akhirnya memperoleh suara dua per tiga yang menandakan telah terpilih Paus yang baru yang secara visual ditandai dengan keluarnya asap putih dari cerobong kapel Sistina.
Dan pada saat itulah diucapkan Habemus papam, sebuah frase latin klasik yang biasanya diucapkan oleh seorang kardinal dari balkon Basilika Santo Petrus Vatican, untuk memperkenalkan kepada kota Roma dan dunia bahwa kita telah memiliki paus yang baru.
Papabile
Who will be the next pope? Secara normatif setiap kardinal peserta conklave adalah calon paus. Akan tetapi karena conklave adalah, selain sebuah doa, juga sebuah kesempatan ‘mencari’ pemimpin bagi hampir 1,4 miliar umat Katolik, sehingga membuatnya menjadi ruang abu-abu untuk prediksi dan kalkulasi. Karena itu, di berbagai media muncul beberapa nama papabile, yang ditengarai sebagai kandidat kuat untuk paus berikutnya. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
Kalau kita berhipotesis berdasarkan komposisi kardinal peserta conclave, dimana kehadiran para kardinal non-Eropa menjadi kelompok mayoritas, maka barangkali preferensi geografis dan kultural juga turut menjadi faktor penentu, misalnya demi asas keadilan etnis dan budaya maka usulan Paus dari Asia atau Afrika (sebagai Paus pertama) dapat menjadi faktor penentu dalam diskusi persiapan conclave.
Akan tetapi kalau kita berangkat dari preferensi ideologis maka muncul hipotesis berikut: bahwa Paus Fransiskus adalah seorang yang progresif, maka secara tidak langsung juga diafirmasi eksistensi kelompok konservatif (tradisional) di antara para kardinal. Jika diskusi antara kelompok progresif dan konservatif tidak menemukan titik temu, maka kemungkinan besar yang akan dipilih sebagai Paus baru adalah seorang figur moderat yang bisa menjadi penengah di antara kedua kelompok ini.
Atau juga muncul faktor penentu lain yang lebih general, misalnya jika selama Congregazione Generale (sesi pertemuan sebelum conklave) isu-isu mengenai situasi geo-politik (misalnya masalah peperangan dan imigran) mengemuka menjadi tema dominan di antara para kardinal, maka menjadi besar kemungkinan seorang Paus yang diharapkan adalah seorang yang dapat menjalankan ‘mesin politik’ dan diplomasi yang kuat.
Tentu saja berbagai pertimbangan dan hipotesis ini memperlihatkan kompleksitas dalam ‘mencari’ seorang paus. Meskipun demikian Gereja tetap dan mesti memilih seorang Paus baru. Lantas, di antara berbagai berbagai figur populer yang berseliweran di media, siapakah kardinal yang paling pantas menjadi Paus? Sekali lagi, setiap kardinal di ruang conclave adalah calon terbaik untuk menjadi Paus.