Sekecil Apa pun Tindak Kekerasan di Pesantren Jangan Dianggap Sepele

1 week ago 6
Sekecil Apa pun Tindak Kekerasan di Pesantren Jangan Dianggap Sepele Sejumlah santri bermain bersama saat beristirahat sesusai mengikuti pembelajaran di Pondok Pesantren Tahfidhul Quran Abu Bakar Ash-Shiddiq, Pati, Jawa Tengah.(MI/Permana)

PENGAMAT pendidikan sekaligus founder Rumah Literasi 45 Andreas Tambah mengatakan bahwa sampai saat ini kasus perundungan di lingkungan pendidikan masih menjadi permasalahan yang harus diatasi bersama. 

Merujuk pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama 2023 telah terjadi 3.800 kasus perundungan hingga menyebabkan kematian di sekolah dan pesantren

“Paling miris terjadi kasus yang menimpa Bintang Balqis Maulana yang terjadi di Jawa Timur pada 2024 yang viral. Karena perkembangan teknologi yang pesat, sekecil apa pun masalah di pesantren di lingkup dunia pendidikan pasti akan tersorot,” ungkapnya dalam diskusi bertajuk Mengawal Komitmen Kemenag dalam Penerapan Pesantren Ramah Anak yang digelar oleh Koordinat Wartawan Parlemen (KWP) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (6/3). 

Lebih lanjut, Andreas menambahkan bahwa dirinya pernah mengadakan diskusi dengan pengelola pesantren dan salah satu alumni pesantren mengatakan bahwa ejekan, pukulan dan labeling antar teman adalah hal yang lumrah di pesantren. 

“Sehingga ketika itu dianggap tindakan perundungan maka aktivitas di pesantren dianggap tindakan perundungan. Tapi ketika hal itu dilakukan kepada anak baru, mungkin responsnya akan berbeda,” tegas Andreas. 

“Ada juga laporan dari anak baru yang masuk pesantren, bahkan cucu saya sendiri, itu tidak kuat dan ingin keluar. Bahkan tidak mau masuk pesantren lagi. Hal ini karena adanya diskriminasi dan senioritas yang sangat kental. Ini adalah sebuah realita dan sekalipun jumlahnya sedikit, jangan dianggap sebagai hal yang tidak diperhatikan. Ini harus menjadi perhatian kita semua,” sambungnya. 

Di tempat yang sama, Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad menambahkan bahwa pesantren membangun mental anak untuk dapat memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang bersekolah di sekolah unggulan. 

“Pesantren itu kehidupannya sangat egaliter. Kemudian terjadi kehidupan sosial karena ada ratusan atau ribuan santri. Tidak menyebabkan introver. Tidak akan memunculkan sikap arogan karena makan saja bersama-sama,” ucap Habib. 

“Sekolah unggulan itu lebih mementingkan kecerdasan akademis tetapi kurang memperhatikan pembentukan karakter karena karakter anak yang mengecewakan orangtua di antaranya antaranya anaknya egois, sulit untuk bermasyarakat, introver, arogan, keras hati, dan cenderung elitis,” lanjutnya.

Sayangnya, menurutnya sampai ini perhatian pemerintah terhadap pesantren dan madrasah sangat minim. Para guru yang berpenghasilan Rp200 ribu sampai Rp300 ribu per bulan dikatakan mayoritas adalah guru madrasah. 

“Oleh karena itu, kami di Komisi X DPR RI meminta Mendikdasmen dan Menag untuk secepatnya duduk bersama terkait hal ini karena ada semacam diskriminasi. Ditambah lagi, Kemenag ini menjadi kementerian yang menjadi prioritas pemerintah,” jelas Habib. 

“Mudah-mudahan UU Sisdiknas yang akan kita coba revisi itu bisa mengakomodasi dan mengcover kebutuhan atau keperluan berkaitan dengan pesantren dan madrasah yang ada di bawah Kemenag. Kita harus bangga bahwa MAN di beberapa kota itu malah lebih unggul dibandingkan SMA negeri yang ada di wilayah tersebut. Beberapa MAN mampu membuat 70% alumninya diterima di perguruan tinggi ternama di Indonesia,” sambungnya. 

Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriyana Gantina mengatakan bahwa kebanyakan masyarakat tidak pernah tahu bahwa sekolah menengah terbaik nomor satu di Indonesia justru berasal dari MAN Insan Cendekia. 

“Jadi kalau orang menganggap bahwa pendidikan agama menjadi second liner, sepertinya ini keliru karena ternyata sekolah di bawah Kemenag tidak seperti yang orang bayangkan. Tetapi mindset masyarakat di daerah selalu berpikiran kalau anaknya tidak masuk ke sekolah negeri, baru dia mencari sekolah keagamaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami di Komisi VIII DPR RI untuk bagaimana kita meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di bawah Kemenag,” urai Selly. 

Sementara itu, terkait dengan anggapan bahwa 5 dari 8 korban kekerasan di tingkat pendidikan disumbangkan oleh pesantren, menurutnya harus diklarifikasi. 

“Tidak seperti itu. Kalau pun terjadi perundungan, kekerasan seksual, maupun intimidasi di lingkungan pendidikan keagamaan, itu hanya jumlah yang kecil saja. Ke depan itu kita harus memberikan regulasi yang tegas dan berorientasi pada ramah anak. Ini menjadi acuan bagi kami agar regulasi yang dibuat nanti bisa betul-betul diterapkan dan ada dukungan anggaran yang sama dari pemerintah,” tandasnya. (H-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |