
QATAR mengecam serangan udara Israel di Libanon selatan pada Sabtu (22/3), yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil.
Kecaman tersebut disampaikan dalam percakapan antara Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, dengan Perdana Menteri Libanon, Nawaf Salam, demikian mengutip Kementerian Luar Negeri Qatar.
Dalam pernyataan itu, kedua pemimpin membahas hubungan kerja sama antara kedua negara serta upaya untuk memperkuatnya, perkembangan terbaru di Libanon, khususnya kesepakatan gencatan senjata dan penarikan pasukan pendudukan Israel dari wilayah Libanon, serta bertukar pandangan mengenai berbagai isu regional dan global yang menjadi perhatian bersama.
Perdana Menteri Qatar mengutuk serangan udara Israel yang menargetkan Libanon selatan, sekaligus menekankan pentingnya semua pihak untuk mematuhi perjanjian gencatan senjata dan menarik pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Libanon.
Ia juga menegaskan kembali dukungan kuat Qatar terhadap Republik Libanon serta komitmennya untuk selalu berdiri bersama rakyat Libanon.
Berdasarkan perhitungan Anadolu yang merujuk pada sumber resmi Libanon, serangan udara Israel menewaskan tujuh orang dan melukai 40 lainnya.
Serangan itu terjadi setelah Israel mengeklaim bahwa permukiman Metula diserang roket dari wilayah Libanon. Sebagai tanggapan, pasukan Israel melancarkan serangan udara terhadap desa-desa dan kota-kota di Libanon selatan.
Insiden itu menjadi serangan roket pertama sejak gencatan senjata antara Libanon dan Israel mulai berlaku hampir empat bulan lalu.
Hingga saat ini, belum ada pihak yang mengeklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap Metula.
Gencatan senjata yang rapuh telah diberlakukan di Libanon sejak November lalu, mengakhiri berbulan-bulan pertempuran lintas batas antara Israel dan kelompok Hizbullah yang sempat meningkat menjadi konflik berskala besar pada September.
Otoritas Libanon melaporkan hampir 1.100 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, termasuk serangan yang menyebabkan sedikitnya 85 orang tewas dan lebih dari 280 lainnya terluka.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik seluruh pasukannya dari Libanon selatan pada 26 Januari.
Namun, tenggat waktu diperpanjang hingga 18 Februari setelah Israel menolak untuk mematuhi perjanjian tersebut. Hingga kini, Israel masih mempertahankan kehadiran pasukan militer mereka di lima pos perbatasan. (Ant/I-3)