Prestasi Muda, Struktur Tua: Reformasi Sepak Bola RI Berbasis Sport Sciences

1 day ago 5
 Reformasi Sepak Bola RI Berbasis Sport Sciences (Dokpri)

PERTAMA kali dalam sejarah, Garuda Muda berhasil lolos ke Piala Dunia U-17 2025 melalui jalur kualifikasi. Prestasi luar biasa juga ditorehkan anak-anak muda Indonesia di ajang Piala Asia U-17. Garuda Muda berhasil menjadi juara grup C, mengalahkan raksasa Korea Selatan (04/04), Yaman (07/04), dan juga Afganistan (11/04). Sayangnya, perjalanan mereka harus terhenti di babak 8 besar oleh Korea Utara dengan skor 6-0 (14/04). 

Tetapi, kesuksesan Garuda Muda menembus Piala Dunia U-17 membawa angin segar bagi seluruh pecinta sepak bola di Indonesia. Prestasi ini seakan menjawab kekhawatiran para pengamat bola dan anggota DPR terkait keberlanjutan bakat lokal dalam persepakbolaan nasional. Maraknya naturalisasi dari garis keturunan, membuat beberapa pihak khawatir akan mengecilkan niat anak negeri untuk membela negaranya di panggung internasional.

Tim yang dipimpin oleh Nova Arianto terbukti berhasil menepis kekhawatiran tersebut. Mayoritas anak didik Coach Nova adalah pemain lokal yang besar dari pendidikan sepak bola Indonesia. Ini menjadi cerminan, bahwa sejak lama bakat sepak bola di kelompok umur tidak kalah bila dibandingkan negara lain. Contoh yang ada sejak lama adalah Danone Nations Cup. Sejak tahun 2006, tim Garuda Muda U-12 berhasil menumbangkan raksasa besar dunia, seperti Portugal, Argentina, Brasil, Jepang, dan Tiongkok. Hal ini membuktikan, bahwa bakat sepak bola anak-anak Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Namun, persoalan mendasar muncul ketika mereka mulai tumbuh dewasa. Ke mana perginya anak-anak berprestasi tersebut?

Liga berjenjang

Memasuki fase remaja (U-17) hingga dewasa awal (U-21), anak-anak ini kerap kehilangan ruang untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Sekolah Sepak Bola (SSB) yang sebelumnya menjadi wadah eksplorasi bakat, tak lagi mampu memberikan tantangan dan motivasi memadai. Ketika memasuki dunia profesional, tantangan bertambah: minimnya jam terbang, risiko cedera, dan ketatnya persaingan membuat banyak talenta tenggelam.

Dalam konteks ini, federasi, dalam hal ini PSSI, memiliki peran vital untuk memastikan keberlanjutan talenta muda Indonesia. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah urgensi untuk menyelenggarakan liga kelompok usia secara berkesinambungan. Skemanya dapat dimulai dengan Liga Garuda Junior (U-12 dan U-15), lalu dilanjutkan Liga Garuda Muda (U-17, U-21, dan U-23). 

Kompetisi yang terstruktur, akan menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif. Anak-anak dapat mengasah kemampuan mereka di antara rekan seusia, dan terbiasa dengan atmosfer pertandingan yang mirip seperti liga profesional.

Federasi juga dapat menerapkan pendekatan sport science dalam pembangunan sepak bola nasional. Pengukuran seperti Body Mass Index (BMI), analisis tipologi tubuh, serta stamina, dan kapasitas VO2 max, dapat dijadikan alat untuk memetakan potensi fisik pemain sejak dini. Data ini membantu pelatih menyusun komposisi tim berdasarkan kebutuhan taktik, bukan sekadar bakat alami saja.

Sains dan sepak bola

PSSI perlu membangun pusat pelatihan talenta muda yang bersifat holistik dan multidisipliner. Dalam pusat ini, diisi oleh berbagai tim ahli, mulai dari psikolog, dokter olahraga, antropolog ragawi, hingga fisioterapis, harus dilibatkan di dalamnya. Tim ini berfungsi tidak hanya dalam pembinaan fisik, tapi juga dalam analisis karakter dan potensi adaptif seorang pemain.

Dari perspektif Antropologi Ragawi, didasarkan pada adaptasi biologis dan kultur seseorang, berpengaruh untuk memprediksi performa atlet ke depannya. Anak-anak yang besar di wilayah pegunungan seperti Bromo, misalnya, memiliki adaptasi fisiologis terhadap kadar oksigen rendah. Hal tersebut, tentu saja dapat menjadi keunggulan dalam daya tahan dan juga stamina. Sementara itu, secara kultur, gaya hidup aktif serta pola kerja keras di lingkungan pegunungan juga dapat membentuk karakter kompetitif dan ulet.

Selain itu, pendekatan Antropologi Olahraga juga dapat membantu memahami potensi optimal dari berbagai tipologi tubuh manusia. Terdapat tiga jenis utama, yakni leptosom (ramping), piknik (gemuk-lebar), dan atletis (ideal proporsional). Dasar tersebut dapat menjadi landasan pemetaan posisi terbaik seorang pemain bola. Anak dengan tipe atletis, lebih cocok bermain sebagai gelandang serba bisa. 

Sementara tipe leptosom, dapat bergerak lebih gesit untuk menjadi seorang winger, dan sebagainya. Apabila dikelola secara serius, Indonesia akan memiliki peta besar (big data) talenta berbasis wilayah dan tipologi tubuh.

Pusat ini juga dapat menjadi tempat pengembangan metodologi pelatihan berbasis data dan riset. Di mana kita ketahui bersama, selama ini minim digunakan dalam pelatihan sepak bola usia dini. Penerapan prinsip-prinsip ilmiah akan menjauhkan pembinaan dari pendekatan coba-coba, atau hanya berdasarkan intuisi pelatih semata.

Bukan sekadar membina harapan

Keberhasilan Garuda Muda lolos ke Piala Dunia U-17 2025 bukan sekadar prestasi. Melainkan cermin dari potensi besar yang selama ini tersembunyi. Namun, prestasi ini hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa tindak lanjut yang berkesinambungan. Federasi, dalam hal ini PSSI, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem pembinaan yang tidak hanya mengejar hasil instan, tetapi juga menyiapkan fondasi jangka panjang.

Penerapan sport sciences dan pendekatan multidisipliner, dapat menjadi alat bantu penting dalam menyusun strategi pembangunan talenta muda. Kita tidak cukup hanya mengandalkan bakat. Sepak bola modern membutuhkan sistem yang menyeimbangkan potensi fisik, mental, serta aspek sosiokultur anak-anak bangsa. Sepak bola bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi juga soal bagaimana kita membangun manusia Indonesia yang tangguh dan berdaya saing global!

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |