
PRESIDEN sementara Suriah, Ahmad al-Sharaa, mendesak Suku Badui agar sepenuhnya mematuhi kesepakatan gencatan senjata yang ditujukan untuk mengakhiri bentrokan berdarah dengan kelompok bersenjata Druze di Provinsi Suwayda.
Gencatan senjata itu diumumkan Sabtu (19/7) oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Turki sekaligus Utusan Khusus AS untuk Suriah, Tom Barrack. Kesepakatan tersebut merupakan hasil pembicaraan antara Suriah dan Israel dengan dukungan sejumlah negara di kawasan.
Barrack, dalam pernyataan di platform X (dulu Twitter), menyebutkan bahwa kesepakatan ini didukung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa, serta Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Turki, Yordania, dan negara tetangga Suriah lainnya turut mendukung inisiatif perdamaian ini.
Meski tak mengungkap detail kesepakatan, Barrack mengimbau semua pihak segera menghentikan pertempuran. “Kami menyerukan kepada Druze, Bedouin, dan Sunni untuk meletakkan senjata dan bersama-sama membangun identitas Suriah yang baru, damai dan bersatu, hidup berdampingan dengan negara-negara tetangganya,” ujar Barrack dikutip dari Euro News.
Bentrokan antara milisi Druze dan suku Bedouin yang mayoritas Sunni pecah pada Minggu lalu di Suwayda, wilayah selatan Suriah. Pasukan pemerintah yang turun tangan dengan alasan menjaga ketertiban justru diketahui berpihak pada kelompok Bedouin, memicu kemarahan komunitas Druze.
Israel pun terlibat dengan alasan melindungi kelompok Druze. Militer Israel melancarkan puluhan serangan udara terhadap konvoi militer Suriah dan bahkan menghantam markas Kementerian Pertahanan di pusat Damaskus. Dukungan Israel kepada komunitas Druze terkait erat dengan posisi strategis Druze di Israel, yang dikenal sebagai kelompok minoritas loyal dan banyak bertugas di militer negara tersebut.
Kesepakatan yang rapuh
Pada Rabu (17/7), pemerintah al-Sharaa berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok Druze melalui mediasi Amerika Serikat, Turki, dan beberapa negara Arab. Sebagai bagian dari kesepakatan, pasukan pemerintah mulai mundur dari Provinsi Suwayda.
Namun, kesepakatan itu rapuh. Presiden al-Sharaa mengungkapkan bahwa pasukan Druze ditugaskan mengelola keamanan internal di Suwayda setelah mundurnya tentara pemerintah. Meski demikian, bentrokan kembali pecah pada Kamis (18/7), ketika kelompok Druze melakukan serangan balasan terhadap komunitas Bedouin.
Media pemerintah melaporkan serangan balasan tersebut memicu gelombang pengungsian baru. Gubernur Provinsi Daraa, tetangga Suwayda, menyebutkan lebih dari 1.000 keluarga Badui mengungsi ke wilayahnya akibat serangan dari kelompok-kelompok bersenjata yang disebutnya “di luar hukum”.
Memutus rantai bentrokan
Menanggapi eskalasi terbaru, al-Sharaa menegaskan akan mengerahkan pasukan khusus ke Suwayda untuk memutus rantai bentrokan dan meredakan konflik di lapangan.
Menurut perkiraan PBB, sejak bentrokan pecah, sekitar 80.000 warga terpaksa meninggalkan rumah mereka. Layanan dasar seperti air, listrik, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan di Suwayda turut lumpuh akibat konflik. (Ndf/I-1)