Ilustrasi(Dok Kementerian Kehutanan )
LAPORAN terobosan yang diterbitkan hari ini oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Global Alliance of Territorial Communities (GATC), sejumlah federasi regional masyarakat adat dan Earth Insight mengungkap tekanan industri yang luar biasa besar terhadap wilayah adat di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, lebih dari 11,7 juta hektare wilayah adat telah dirampas, sehingga memicu hampir 700 konflik lahan.
Laporan berjudul Wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di Garis Depan: Pemetaan Ancaman dan Solusi di Hutan Tropis Terbesar di Dunia menyajikan analisis spasial yang baru dan komprehensif mengenai ancaman dari industri ekstraktif yang dihadapi masyarakat adat yang menjaga hutan, lahan gambut dan mangrove kritis di berbagai wilayah Nusantara dan wilayah lain di dunia.
Laporan juga menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi ancaman tersebut. Kolaborasi baru ini yang menggabungkan analisis geospasial, data tentang masyarakat, dan studi kasus, merupakan bagian dari penilaian global yang mengkaji berbagai ancaman di wilayah Amazonia, Kongo, Indonesia dan Mesoamerika.
Bersama-sama, wilayah tersebut mencakup 958 juta hektare hutan tropis yang dikelola oleh 35 juta orang. Temuan dari Indonesia memperlihatkan bahwa kegiatan pertambangan, minyak dan gas, pengusahaan hutan dan proyek energi panas bumi telah melemahkan sistem tata kelola masyarakat adat atas 33,6 juta hektare wilayah adat yang melindungi keanekaragaman hayati esensial dan menjaga stabilitas iklim. Terbit menjelang acara COP30 di Brasil, laporan ini bertujuan membangun urgensi terhadap prioritas kebijakan dan solusi dari masyarakat adat dan komunitas lokal, dan mempengaruhi agenda iklim global dengan menunjukkan bahwa hak teritorial masyarakat adat dan komunitas lokal tidak dapat dipisahkan dari upaya pencapaian tujuan internasional terkait iklim dan keanekaragaman hayati.
Temuan dalam laporan memperlihatkan adanya krisis di Indonesia:
● Tanah Masyarakat Adat Terkepung: Enam juta hektare lahan masyarakat adat tumpang tindih dengan areal izin pengusahaan hutan, 1,6 juta hektare tumpang tindih dengan blok minyak dan gas, dan hampir satu juta hektar tumpang tindih dengan areal izin usaha pertambangan.
● Perampasan Tanah secara Sistematis: Dari tahun 2014 sampai 2024, masyarakat adat di Indonesia kehilangan 11 juta hektare wilayah adat, sedangkan pemerintah baru mengakui kurang dari 1% dari total wilayah masyarakat adat seluas lebih dari 25 juta hektare. Sementara itu, pemerintah telah menerbitkan izin atas 23,8 juta hektare lahan untuk perkebunan kelapa sawit, 18,8 juta hektare untuk kegiatan pengusahaan hutan, dan 9 juta hektare kepada perusahaan tambang.
Krisis O'Hongana Manyawa: Lebih dari 65.000 hektare wilayah masyarakat adat O'Hongana Manyawa, salah satu masyarakat pemburu-peramu nomaden terakhir di Indonesia dengan sekitar 500 orang yang hidup dalam isolasi sukarela, tumpang tindih dengan areal izin pertambangan. Sedikitnya 19 perusahaan tambang beroperasi di wilayah masyarakat O’Hongana Manyawa yang belum tersentuh kontak luar.
"Perluasan tambang, sawit dan berbagai proyek pembangunan lainnya telah merampas lebih dari 11,7 juta hektare wilayah adat dalam satu dekade terakhir,” kata Sekretaris Jenderal AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Rukka Sombolinggi.
"Dunia harus tahu: keberlanjutan hanya bisa tercapai melalui kedaulatan masyarakat adat.”
Penilaian ini terbit pada saat masyarakat adat di Indonesia menghadapi tekanan yang semakin berat, bukan dari industri ekstraktif saja, melainkan juga dari berbagai proyek yang dibenarkan atas nama transisi hijau, karena banyak logam yang ditambang untuk kepentingan energi alternatif, serta lahan yang dimanfaatkan untuk proyek tersebut, tumpang tindih dengan wilayah adat.
Pemerintah Indonesia telah memberikan izin usaha atas areal hutan yang sangat luas kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan tambang, sedangkan masyarakat adat, yang sudah melindungi hutan secara turun-temurun, justru mendapat pengakuan hukum yang minim dan terpaksa menghadapi penindasan sistematis apabila menolak perampasan tanahnya dan eksploitasi sumber dayanya.
Selain mendokumentasikan berbagai ancaman, laporan ini juga menyoroti beberapa solusi transformatif yang dipimpin oleh masyarakat adat dan sedang berkembang di Indonesia.
● Di Pulau Flores di Kepulauan Wallacea, masyarakat Gendang Ngkiong berhasil mengklaim kembali 892 hektare tanah adat melalui pemetaan partisipatif dan reformasi hukum, sehingga memperoleh pengakuan berdasarkan peraturan perundang-undangan baru tentang masyarakat hukum adat.
● Di Sumatra Utara, masyarakat Ompu Umbak Siallagan berhasil memperoleh pengakuan hukum atas tanah adatnya setelah berjuang selama puluhan tahun melawan perusahaan HTI, sehingga ditetapkan suatu preseden hukum penting bahwa keberadaan masyarakat adat dalam hutan adat, bahkan apabila hutan tersebut sudah dibebani izin perusahaan, tidak merupakan tindak pidana.
Laporan ini berlandaskan pada Deklarasi Brazzaville dan Lima Tuntutan GATC, yaitu, menjamin hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas tanah; menjamin penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa atau FPIC); memastikan bahwa pembiayaan langsung mencapai masyarakat; melindungi nyawa pembela lingkungan; dan mengintegrasikan pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan global. Tuntutan tersebut memberikan peta jalan yang jelas bagi pemerintah, penyandang dana dan lembaga untuk beralih dari kegiatan ekstraktif menuju regenerasi.
“Tanpa adanya tindakan tegas untuk menegakkan hak dan mendukung pengelolaan yang dipimpin oleh masyarakat adat, maka umat manusia tidak akan mampu mencapai tujuannya mengenai iklim dan keanekaragaman hayati,” kata Sekretaris Eksekutif, GATC Juan Carlos Jintiach.
“Padahal, dengan mengikuti kearifan dari masyarakat yang telah melindungi ekosistem selama berabad-abad, dunia memiliki peta jalan yang nyata menuju regenerasi.”
“Bukti sudah jelas: tanpa adanya pengakuan atas hak teritorial, penghormatan terhadap prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan, maupun perlindungan terhadap ekosistem yang menopang kehidupan kita semua, maka tujuan global tentang iklim dan keanekaragaman hayati tidak dapat tercapai,” kata Wakil Direktur, Earth Insight M. Florencia Librizzi.
“Kita harus mengakui dan memperkuat model pengelolaan dan tata kelola berbasis masyarakat, yang telah menunjukkan jalan menuju masa depan yang adil dan regeneratif.” (E-4)


















































