Warga Sudan.(Al Jazeera)
PEMERINTAH Sudan mengusulkan keterlibatan Turki dan Qatar dalam upaya mediasi negosiasi damai antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) agar menghasilkan kesepakatan yang lebih adil.
"Jika Anda ingin mencapai perundingan damai yang sesungguhnya, kita harus melibatkan mediator lain, Turki dan Qatar. Ini usulan dari pemerintah Sudan," kata Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali di Jakarta, Rabu (5/11).
Usulan tersebut disampaikan setelah Kelompok Empat Internasional (International Four Group) yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA), menyampaikan inisiatif untuk memediasi negosiasi damai antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter RSF.
Sudan menilai Arab Saudi dan Mesir sebagai mitra terpercaya. Namun, mereka menilai AS memiliki standar ganda karena memberi lampu hijau kepada Uni Emirat Arab untuk mendukung RSF yang melakukan pemberontakan dan pembunuhan terhadap warga sipil di El-Fasher, Sudan.
AS dan UEA disebut memaksakan ketentuan gencatan senjata yang tidak adil bagi pemerintahan dan rakyat Sudan.
"Anda tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada pemerintah dan menyamakan sanksi antara pihak yang menyerang dan pihak yang membela diri," katanya.
Oleh karena itu, Sudan mengusulkan keterlibatan mediator lain seperti Turki dan Qatar untuk turut memediasi negosiasi damai tersebut. Namun, mereka enggan untuk melakukan hal itu.
"Karena mereka tahu jika Turki, pemerintah Turki, dan Qatar bersatu dengan Saudi dan Mesir, mereka akan membentuk mayoritas dan mereka dapat memimpin negara-negara lain untuk menghasilkan penyelesaian yang rasional dan dapat diterima oleh pemerintah Sudan," imbuh Yassir.
Yassir menegaskan para mediator itu tidak bisa memaksakan perdamaian kepada pemerintah Sudan dengan memaksanya untuk menerima persyaratan yang mereka buat karena pemerintah Sudan saat ini unggul atas RSF. Pemerintah telah menguasai sebagian besar wilayah dan akan terus melawan para pemberontak.
"Jadi, kami tidak bisa menerima seseorang yang agresor, didukung oleh mereka, dan mereka ingin memaksakan perdamaian yang mementingkan kebijakan agresor tersebut, yang pada akhirnya merupakan agenda mereka," katanya.
Sejak 15 April 2023, militer Sudan dan RSF telah terlibat dalam perang yang gagal diakhiri oleh mediasi regional maupun internasional.
Yassir mengatakan pertempuran tersebut telah menewaskan lebih dari 150 ribu warga Sudan, yang sebagian besar adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Pertempuran tersebut juga telah menyebabkan 100 ribu orang luka-luka dan mengalami masalah kesehatan lain. (Ant/I-2)


















































