Prabowo Targetkan Produksi 100 GWh Baterai EV Nasional

4 hours ago 4
Prabowo Targetkan Produksi 100 GWh Baterai EV Nasional Presiden Prabowo Subianto.(Dok. MI)

PRESIDEN Prabowo Subianto menargetkan Indonesia akan memproduksi hingga 100 gigawatt hour (GWh) baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Target ambisius ini merupakan bagian dari pengembangan ekosistem industri baterai EV terintegrasi yang saat ini mulai dibangun.

Proyek kolosal ini dikembangkan oleh konsorsium yang terdiri dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Indonesia Battery Corporation (IBC), serta konsorsium perusahaan asal Tiongkok yaitu CATL, Brunp, dan Lygend (CBL). Konsorsium CBL sendiri merupakan bagian dari Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL), produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.

Pada fase pertama, pabrik ini akan memiliki kapasitas produksi sebesar 6,9 GWh dan ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2026. Kapasitas ini akan ditingkatkan menjadi total 15 GWh pada fase kedua, atau setara dengan baterai untuk sekitar 300.000 unit mobil listrik.

"Hari ini kita saksikan peresmian proyek integrasi baterai EV dengan kapasitas 15 GWh. Tapi menurut laporan para pakar kepada saya, agar benar-benar mandiri, kita perlu mungkin (membangun) 100 GWh," kata Kepala Negara.

Hal ini disampaikan dalam acara peletakan batu pertama (groundbreaking) ekosistem industri baterai kendaraan listrik terintegrasi di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Karawang, Minggu (29/6).

Lebih dari sekadar proyek industri, presiden menegaskan pengembangan ekosistem baterai ini adalah langkah penting menuju kemandirian energi nasional. Dia optimistis Indonesia bisa mencapai swasembada energi dalam lima hingga enam tahun ke depan, dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti tenaga surya.

“Salah satu jalan kita menuju swasembada energi adalah listrik dari tenaga surya, dan kunci dari tenaga surya adalah baterai,” tegas Prabowo.

“Saya diberi tahu para pakar, bangsa kita sungguh bisa mandiri energi. Hitungan saya, tidak lama, paling lambat enam tahun," tambahnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang turut hadir menambahkan, ke depan pemerintah tidak hanya memproduksi baterai untuk kendaraan, tetapi juga baterai untuk penyimpanan energi dari pembangkit tenaga surya (PLTS).

“Insyaallah, mitra-mitra kita bersedia mendukung pengembangan ini agar seluruh komponen produksi dilakukan di dalam negeri,” ujar Bahlil.

Proyek ini merupakan bagian dari strategi pembangunan industri baterai dari hulu ke hilir, terdiri atas enam subproyek terintegrasi. Nilai total investasinya mencapai US$5,9 miliar atau sekitar Rp95,5 triliun (kurs Rp16.194). Lalu, potensi multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan hingga US$49 miliar per tahun atau sekitar Rp793,506 triliun tergantung pergerakan harga komoditas.

Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan target jangka menengah adalah mengembangkan kapasitas hingga 40 GWh, seiring meningkatnya permintaan pasar untuk baterai PLTS. Ekosistem industri ini meliputi proses dari hulu seperti tambang, smelter, prekursor, katoda, hingga hilir seperti battery cell dan recycle/kick-off facility (RKF).

Investasi senilai US$1,2 miliar akan difokuskan di Jawa Barat untuk pembangunan battery cell yang dekat dengan pabrik perakitan kendaraan.

"Sementara itu, investasi sebesar US$4,7 miliar akan ditempatkan di Maluku Utara untuk pengembangan tambang, smelter, prekursor, katoda, dan RKF," tutur Politikus Partai Golkar itu.

Offtaker

Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho mengeklaim baterai kendaraan listrik (EV) yang diproduksi melalui proyek konsorsium tersebut telah diminati oleh sejumlah offtaker atau pembeli, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Saat ini, beberapa pembeli telah terkonfirmasi di pasar domestik, sementara permintaan ekspor sekitar 30% juga datang dari negara-negara seperti Jepang, India, dan Amerika Serikat (AS).

"Namun, nama-nama mitra belum dapat kamu umumkan karena masih dalam tahap finalisasi dengan CATL," jelas Toto.

Di sisi lain, dia menjelaskan pasar Amerika Serikat kini mulai terbuka kembali menyusul perubahan kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump. Hal ini memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk mengekspor produk baterai ke berbagai negara, termasuk AS, Tiongkok, Eropa, dan negara-negara di Asia Tenggara.

Menurutnya, pendekatan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif membuka peluang kerja sama dagang dengan berbagai pihak, tanpa bergantung pada satu blok negara.

Dihubungi terpisah, pengamat energi dari Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai Indonesia harus mampu mendapatkan nilai tambah dari hilirisasi industri nikel, sekaligus memastikan pengembangan industri baterai turut mendorong peningkatan standar lingkungan dan sosial di dalam negeri.

Sementara itu, tren penjualan kendaraan listrik (EV) secara global masih menunjukkan pertumbuhan tinggi, sekitar 25% per tahun, meski mulai melambat di beberapa wilayah. Sepanjang tahun terakhir, penjualan EV global mencapai 17 juta unit atau setara 20% dari total penjualan mobil dunia.

"Meskipun pertumbuhan EV di Amerika Serikat diperkirakan akan lebih lambat, pasar Eropa, Asia, dan Amerika Latin tetap menjadi wilayah yang menjanjikan," terangnya.

Namun, perubahan lanskap pasar global perlu dicermati. Saat ini, kata Putra, sekitar 70% kendaraan listrik baru di Tiongkok tidak lagi menggunakan baterai berbasis nikel. Hal ini menjadi sinyal bagi para produsen untuk mulai menyesuaikan teknologi mereka agar dapat memenuhi standar yang lebih tinggi, seperti yang diterapkan di Uni Eropa.

Lebih lanjut, perang dagang yang berlangsung antara negara-negara besar dapat berdampak bukan hanya pada industri EV, tetapi juga pada sektor otomotif secara keseluruhan. Dalam konteks ini, rantai pasok industri baterai dan kendaraan listrik memerlukan pasokan energi hijau yang lebih masif, sejalan dengan meningkatnya tuntutan terhadap dekarbonisasi dan transisi energi bersih. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |