
KETUA UMUM Dharma Wanita Persatuan (DWP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Euis Nurlaelawati mengatakan isu pernikahan di bawah umur atau pernikahan anak dan poligami masih menjadi tantangan serius dalam keluarga Muslim di Indonesia.
Kedua isu ini katanya kerap berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik fisik maupun psikis. "Dalam kasus pernikahan anak di bawah umur, belum waktunya melakukan hubungan seksual, sehingga secara psikis ini adalah bentuk kekerasan," katanya, Sabtu, (6/7).
"Di samping itu, meski pasal 7 UU Perkawinan telah diamandemen, praktik dispensasi nikah masih membuka ruang pernikahan anak tanpa batasan usia minimal," ujarnya.
Poligami di Negara Muslim
Ia juga menyoroti poligami dengan tiga model ketentuan di negara Muslim dunia. Mulai dari pelarangan total di Tunisia dan Turki, kebolehan terbatas di Indonesia dan Malaysia, serta kebolehan yang disertai syarat ketat dan dapat menjadi alasan perceraian di Mesir, Maroko, dan Yordania.
“Di Indonesia, poligami tidak dapat menjadi alasan perceraian, tapi istri bisa mengajukan cerai karena dampak buruknya seperti percekcokan yang tidak berujung, penelantaran ekonomi, dan dampak negatif lainnya yang mempengaruhi psikis,” jelasnya di hadapan peserta sarasehan bertema Keluarga sebagai Pilar Bangsa: Perspektif Keagamaan dan Kekinian dalam Membangun Pernikahan yang Berkeadilan Gender dan Tangguh yang diadakan di kampus UIN Yogyakarta, hari Sabtu, (6/7).
Euis kemudian mendorong penguatan bimbingan perkawinan, pembentukan family center berbasis masjid, hingga penyuluhan tentang kekerasan seksual dalam rumah tangga yang wajib diikuti, baik itu oleh suami maupun istri.
Kesadaran Teologis
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Hadis UIN Yogyakarta, Marhumah, menjelaskan, kesadaran teologis manusia harus menempatkan relasi dengan Allah, sesama, dan alam secara seimbang. “Teoantroposentris menekankan manusia tidak hanya beribadah kepada Allah, tetapi juga menjaga relasi ekologis dengan alam. Keluarga Muslim mesti menanamkan kesadaran ini sebagai bentuk tanggung jawab keagamaan dan moral,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Bidang Kajian Gender, UIN Sunan Kalijaga Alimatul Qibtiyah, menyoroti urgensi mengarusutamakan nilai antikekerasan dalam keluarga dan institusi pendidikan. Berdasarkan data, 90 persen kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap istri, termasuk kekerasan seksual.
“Banyak interpretasi keagamaan yang bias, memposisikan perempuan hanya sebagai objek seksual. Bahkan, sapaan seperti ‘Assalamualaikum cantik’ yang merupakan catcalling ini juga termasuk kekerasan seksual non fisik,” ujarnya. (H-3)