
TAMPAKNYA keseriusan Presiden dalam memerangi kejahatan korupsi bukan sekadar pepesan kosong. Program itu terpatri sebagai skala prioritas dalam Astacita pemerintah. Prabowo ketika pidato perdananya seusai dilantik pada 20 Oktober 2024 di MPR dengan lantang menyatakan korupsi membahayakan negara, membahayakan masa depan Indonesia, serta membahayakan masa depan anak dan cucu.
Dalam sejumlah momentum, komitmen Prabowo tidak pernah surut dalam seruan melawan praktik mafia dan korupsi. Mengajak semua elemen bangsa ikut terlibat. Teranyar, kembali mengemuka pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei; dan Hardiknas, 2 Mei 2025. Di hadapan ratusan ribu kaum buruh dan para 'Omar Bakri'/guru, Presiden kembali menyatakan dukungannya terkait dengan pentingnya percepatan RUU perampasan Aset yang selama ini berjalan mandek di DPR.
Sikap itu mendapat apresiasi positif dari lembaga antirasuah KPK dan bahkan Kejaksaan Agung yang akhir-akhir ini gencar membongkar skandal megakorupsi. Pemerintah juga menegaskan tidak akan pernah menyerah dalam perang melawan korupsi di semua sektor. Pidato Prabowo memberi pesan dan sinyal politik bahwa kejahatan korupsi ialah common enemy yang harus dilawan.
Di tengah meningkatnya eskalasi perang tarif dan dagang AS serta situasi ekonomi global yang tak menentu, diperlukan paradigma pembangunan nasional yang menghadirkan nilai keadilan ekonomi dan kemanusiaan sebagai causa prima. Sisi lain, efek geopolitik perang Rusia-Ukraina yang belum berakhir dan kondisi Jalur Gaza yang makin mencekam menuntut peran langkah diplomasi pemerintah di kancah global yang ekstra.
Dalam kepentingan domestik, kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta program strategis turunan, sekalipun terbuka bagi masuknya investasi luar, tidak boleh sekadar memenuhi keinginan segelintir investor dan elite penguasa. Konsisten untuk menjaga agar kepentingan nasional (national interest) tetap menjadi prioritas dengan cara menghadirkan wajah infrastruktur; good governance dan tata kelola sumber daya nasional yang berbasis Pasal 33 UUD 1945, itulah yang paling utama.
Setiap kebijakan yang diambil hendaknya tetap pada jangkauan supremasi sipil; hukum dan konstitusi. Tidak boleh tergelincir dalam praktik manipulasi kekuasaan atau abuse of power yang makin mengundang nestapa rakyat kecil. Menjadi percuma jika pada akhirnya kebijakan dan regulasi yang dibuat justru melukai rasa keadilan sosial bagi rakyat dan hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar.
Rilis Data Bank Dunia terbaru yang mengeklaim 60,3% jumlah penduduk Indonesia masih di garis kemiskinan perlu dijadikan referensi dan evaluasi bagi strategi kebijakan pengentasan kemiskinan nasional. Korupsi dan kemiskinan ialah problem keumatan yang saling berkelindan. Kemiskinan adalah bentuk lain dalam kekerasan yang harus dicarikan problem solver-nya. Kemiskinan struktural begitu gampang terjadi akibat disorientasi kuasa dan distorsi jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.
Akibat korupsi pengadaaan perahu, para nelayan tidak bisa menambah ongkos sekolah anak mereka. Mereka tidak hanya kehilangan potensi peningkatan pendapatan, tetapi juga harus menanggung beban tambahan untuk memperbaiki atau bahkan membeli perahu baru. Di sisi lain, kita menyaksikan mirisnya nasib kehidupan para petani akibat subsidi pupuk dan bibit unggul disunat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kasus dana bantuan operasional/BOS sekolah, program keluarga harapan, atau program bansos lainnya acap kali menjadi lahan bancakan korupsi, terutama pada musim pemilu. Makin tinggi kejahatan korupsi, makin sulit upaya kita untuk menggapai kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Untuk itulah, perang melawan korupsi harus menjadi agenda bersama bangsa.
CERMIN PEMIMPIN WASATHIYAH
Iktibar yang dapat dipetik dari keteladanan Rasulullah SAW ialah beliau tidak pernah berkompromi dengan kejahatan korupsi, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Nabi pernah bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Bukhari).
Sebagai negara moderat yang memilih Pancasila sebagai ideologi jalan tengah, relasi penguasa, kekuasaan, dan agama tidak mungkin berada pada posisi apatis dan utopis. Pembukaan UUD dan Pasal 29 UUD 1945 menegaskan, negara kita bukan negara liberal, bukan pula negara kekuasaan. Sumber utama kekuasaan ada kedaulatan rakyat yang berbasis pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Penguasa membutuhkan nilai spiritual agama sebagai panduan moral dan etika dalam mendesain setiap produk kebijkan dan hukum yang diambil agar tidak salah melangkah.
Mewujudkan pemerintahan demokratis dan bebas dari praktik kejahatan korupsi ialah manifestasi dari karakter kepemimpinan wasathiyah. Al-Qur’an menarasikan umat Islam sebagai 'umatan wasathan'. Menjadi penguasa yang wasathiyah akan selalu berada pada posisi tengahan dan bukan pada posisi ekstrem dalam kebijakan, apalagi saling mengafirkan entitas dan jauh dari sikap tamak dan memperkaya diri sendiri dengan jalan yang batil. Kejahatan korupsi dan gratifkasi termasuk dalam kategori ini (Al Baqarah: 143).
Pemimpin wasathiyah akan menjadikan visi politik amar makruf nahi munkar sebagai benchmarking kebijakan dan moral kekuasaan. Karenanya, kontemplasi dan langkah introspeksi seorang penguasa dalam kerangka spirit Ali Imran ayat 110 menjadi sangatlah penting, yakni ayat yang menyiratkan pesan mendalam bahwa umat Islam ialah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh untuk senantiasa berbuat yang makruf, mencegah perbuatan kejahatan (mungkar), dan tetap beriman kepada Allah.
Perbuatan korupsi dan gratifikasi terkategori sebagian dari perbuatan risywah. Dalam QS Ali Imran: 161, kejahatan korupsi dipersonifikasi dengan istilah 'ghulul' yang bermakna pengkhianatan terhadap kepercayaan atau tanggung jawab konstitusional yang diberikan.
Perilaku korupsi pasti relevan dengan bentuk penyalahgunaan kepercayaan atau kekuasaan demi kepentingan pribadi atau pencurian melalui modus penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan atau amanah yang telah diberikan. Korupsi juga dideskripsikan dengan kata 'al-suht', sebagaimana dalam Al-Maidah ayat 42, 62. Al-suht bermakna 'menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu kepentingan tertentu'.
Pesan moral Al-Baqarah: 188 junto An-Nisa: 29, tegas menyiratkan klausul larangan untuk memperoleh harta dengan jalan yang batil seperti dengan cara korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi sampai menjadi makelar kasus dan gratifikasi hakim agar divonis tidak bersalah dan bebas dari jeratan hukuman.
SUDAHI KORUPSI MENUJU INDONESIA EMAS 2045
Visi Indonesia emas 2045 ingin membawa Indonesia menjadi negara maju dengan ekonomi yang kuat dan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Adanya Desk Pencegahan dan Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola yang dibentuk Kemenko Polkam bersama dengan Jaksa Agung, Kapolri, dan kementerian/lembaga terkait sejak 4 November 2024 menunjukkan komitmen Prabowo-Gibran serius memerangi korupsi sebagai agenda prioritas.
Bahkan, pada momen Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2024, Presiden Prabowo kembali menekankan pentingnya melawan korupsi. Jika korupsi dapat diberantas, ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih pesat karena anggaran dan investasi akan lebih efektif dalam menciptakan iklim bisnis yang semakin sehat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat serta para investor. Visi Indonesia emas 2045 bisa menjadi cemas jika praktik korupsi makin menggurita. Dunia usaha dan sektor perizinan, pemerintahan, dan pertambangan selalu menjadi titik rawan praktek korupsi, gratifikasi, dan pungutan liar.
Data TII (Transparency International Indonesia) 2024 mengonfirmasi bahwa tingkat kebocoran duit negara hampir merata di semua sektor pembangunan. Bahkan, angka kebocoran uang negara berkisar setiap tahun rata-rata 30% dari hasil kejahatan korupsi.
Selain itu, Survei Penilaian Integritas/SPI oleh KPK pada akhir tahun 2024 menunjukkan 90% praktik suap dan gratifikasi terjadi di tubuh kementerian dan lembaga negara. Sebanyak 97% praktik serupa terjadi di pemerintahan daerah. Kejahatan korupsi telah mandarah daging dalam birokrasi dan dilakukan secara berjamaah. Lumpuhnya penegakan hukum akibat lemahnya pengawasan tingkat kebocoran anggaran negara (APBD/APBN).
Modus operandi korupsi selalu beragam alasan, cara, dan celah dalam memanipulasi setiap regulasi dan kebijakan. Di sisi lain, pemerintah memiliki instrumen dan mekanisme pengawasan yang terbatas. Mengandalkan model pengawasan internal pemerintah seperti aparatur pengawas internal pemerintah/APIP tidak akan cukup menghambat laju penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Aparatur hukum dan lembaga penegak hukum tidak bisa dibiarkan bekerja sendirian mencegah dan memerangi kejahatan korupsi. Diperlukan sinergi komponen bangsa.
Program makan bergizi gratis (MBG) dan kebijakan efesiensi anggaraan patut diapresiasi secara positif. Yang perlu diantisipasi ialah rawan menjadi lahan banjakan baru bagi praktik korupsi. Kehadiran lembaga investasi Danantara ialah sebuah terobosan visioner pemerintah yang sangat potensial mengantarkan Indonesia menjadi negara maju dan raksasa ekonomi global. Asalkan pengelolaannnya transparan dan berbasis pada prinsip good corporate governance (GCG). Danantara dapat menjadi instrumen ekonomi yang memperkuat daya saing, fondasi investasi, dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya negara.
Korupsi bagaikan virus yang sulit diberantas yang menyasar hampir semua BUMN maupun swasta. Lingkungan kementerian dan bahkan lembaga penegak hukum sekalipun tak luput dari praktek korupsi dan gratifikasi. Tentu kita tidak boleh lengah, apalagi kehilangan spirit dan political commitment untuk melawan kejahatan korupsi. Orientasi pembentukan hukum/UU yang masih bercorak kapitalis/liberal dan pragmatis harus dikembalikan kepada Pancasila sebagai falsafah dan jiwa kepribadian bangsa. Hukum menjadi sangat transaksional karena masih dipandang sebagai komoditas politik dan ekonomi semata.
Hukum menjadi sangat paradoks karena mengalami defisit dan deviasi nilai-nilai keadilan, moral dan etika. Karena itu, para penegak hukum, para hakim, tidak boleh sebatas menjadi corong UU, tetapi meletakkan nilai keadilan dan kemanusiaan di atas segala-galanya. Hukum tidak sekadar hadir untuk manusia semata. Hukum sejatinya untuk keadilan dan kemanusiaan.
Jika hukum tidak mampu menghadirkan nilai keadilan dan kemanusiaan, di tangan penguasa yang zalim hukum bisa disalahgunakan sehingga praktis yang berlaku adalah hukum kekuasaan bukan kekuasaan hukum. Cermin aparat penegak hukum yang berkarakter <wasathiyah adalah mereka yang profesional dan berintegritas serta tidak mengenal kompromi terhadap pelaku kejahatan korupsi.