
PENDIRI Institut Perempuan dan Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Valentina Sagala mengatakan bahwa perayaan Hari Perempuan Internasional sangat penting untuk menyatukan pengalaman dalam memperjuangkan keadilan, kemerdekaan, melawan penindasan, dan ketidakadilan bagi perempuan.
“Gerakan perempuan adalah kelompok penting yang akan mewarnai perjuangan dan peradaban dunia. Kelompok perempuan juga kerap mengalami penderitaan. Gerakan perempuan mencoba melihat bagaimana cita-cita tujuan bernegara semakin jauh dari pengalaman keseharian perempuan. Itu hal yang akan dilihat hari ini di mana perempuan di banyak tempat di berbagai kelompok akan memperlihatkan betapa kita semakin berjarak dari perlindungan, kesejahteraan, penegakan HAM yang semakin jauh dirasakan perempuan,” ungkapnya dalam diskusi bertajuk Menagih Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara untuk Pemenuhan Hak Perempuan, Sabtu (15/3).
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa sudah semestinya lembaga penyelenggara negara memastikan hak perempuan untuk terpenuhi. Mandat ini harusnya dijalankan dan ini menimbulkan kegelisahan dari perempuan.
“Hal ini juga telah memperlihatkan negara semakin jauh dalam bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi perempuan secara keseluruhan,” ujar Valentina.
Patriarki
Di tempat yang sama, Direktur Flower Aceh, Riswati menekankan bahwa budaya patriarki masih terjadi di Aceh dan stigma sosial sehingga telah memengaruhi kurangnya partisipasi masyarakat untuk mencegah kasus kekerasan seksual.
“Selain itu, UU TPKS juga masih belum kuat sosialisasinya. Banyak yang mengkhawatirkan ini mengganggu syariat Islam padahal ini melindungi perempuan. Implementasi di lapangan juga jadi tantangan,” tegas Riswati.
Direktur Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, Irene Natalia Lambung menambahkan bahwa situasi perempuan adat di Kalimantan Tengah masih banyak yang mengalami persoalan ketidakadilan sampai saat ini.
“Perempuan adat banyak tersingkir dalam pengelolaan sumber daya alam. Aturan tidak memberikan keberpihakan dalam ruang pengelolaan pangan. Padahal perempuan adat merupakan yang paling memahami pengelolaan pangan. Tetapi aturan adat malah menyingkirkan dalam pengetahuan dan inisiatifnya. Kami mendorong perempuan adat dilibatkan dalam pemanfaatan pangan ini,” ujar Irene.
Di lain pihak, Wakil Forum Pengada Layanan di Pulau Jawa, Novita Sari mengatakan bahwa sepanjang 2023, tercatat telah terjadi 5.812 kasus kekerasan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 56% kasus terjadi di Pulau Jawa.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Rina Prasarani menegaskan bahwa perempuan disabilitas banyak mengalami hal-hal yang tidak semestinya di lapangan. Selama ini perempuan disabilitas sering kali terbentur masalah aksesibilitas dan stigma di masyarakat.
“Banyak juga ruang pemeriksaan yang tidak terpisah dari pelaporan lainnya sehingga membuat ketidaknyamanan disabilitas. Pendamping perempuan disabilitas juga belum mendapat tempat di masyarakat dan aparat penegak hukum sehingga sering ditanyakan validasinya,” pungkasnya. (Des/M-3)