
PENGAMAT Kebijakan Publik UIN Mataram Winengan memberikan pandangan terkait polemik di tubuh Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB yang menjadi sorotan masyarakat. Ia mengatakan adanya kesalahan dalam memisahkan peran dan fungsi di dalam yayasan bisa memicu timbulnya ketegangan dan penolakan dari masyarakat.
"Kalau pengelolaan institusi ya berbasis yayasan itu, jadi harus dipilah perannya. Yayasan itu tugasnya, saya bilang itu tadi, membuat regulasi dan mengontrolnya. Manajemennya itu melaksanakan dari regulasi yang sudah dibuat yayasan," kata Winengan, melalui keterangannya, Rabu (21/5).
Winengan mengatakan dalam menyusun kebijakan, partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan tidak bisa diabaikan. Ia menegaskan pentingnya pelibatan stakeholder agar yayasan tidak berjalan secara sepihak.
"Cuma dalam proses penyusunan, regulasi atau kebutuhan itu memang harus mengibatkan partisipasi dari pihak yang punya kepentingan dan kegunaan yayasan maupun institusi yang dibentuk oleh yayasan," ujarnya.
Winengan menyoroti minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan di sejumlah yayasan, termasuk dalam kasus RSI NTB. Ia memberikan analogi sistem ketatanegaraan untuk menjelaskan pentingnya pemisahan fungsi.
"Nanti intinya keterbukaan itu yang mana? Keterbukaan itu. Kalau nanti yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang mengawasi kan gak bisa. Ini kan contoh kecil ya. Kita mungkin bisa merujuk kepada sistem politik kan. Misalnya ada sebagai eksekutifnya, ada sebagai legislatifnya, ada yudikatifnya. Kan begitu kan. Baru bisa ya hatinya berjalan dengan baik pengelolaan sebuah institusi. Negara ini kan sebuah institusi besar, kira-kira begitu. Tapi bisa kita ilustrasikan seperti itulah institusi yang dibentuk oleh yayasan itu," jelasnya.
Winengan menilai aksi protes yang belakangan muncul dari masyarakat NTB terhadap pengelolaan yayasan sebagai sesuatu yang wajar. Pasalnya, masyarakat menilai tidak ada komunikasi dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
"Ya memang saya bilang tadi, ketika membuat sesuatu itu, masyarakat ya tadi dimintain lah. Aspirasi atau mungkin saran masukannya. Kemudian ketika tadi melakukan sesuatu, ada enggak ketentuan yang menjadi basis melakukan sesuatu tadi, Misalnya pemerintahan segala macam. Ada enggak ketentuannya Kan begitu. Kalau enggak ada ketentuan ya memang bersikap begitu," ujarnya.
Ia menyayangkan jika proses pengambilan keputusan dilakukan secara tiba-tiba tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada pihak-pihak terdampak. Hal tersebut, menurutnya, bisa memicu resistensi.
"Tapi kalau ketentuannya sudah ada, masyarakat dilibatkan dalam membuat ketentuan itu, kan bisa menghilangkan atau tidak menghindari terjadinya proses-proses itu."
Saat disinggung mengenai kebijakan yang berdampak langsung pada pegawai, ia menjelaskan bahwa semua kebijakan seharusnya disosialisasikan secara terbuka.
"Ya seandainya misalnya melakukan sesuatu itu kan perlu, tadi saya bilang jangan tiba-tiba. Selalu ada sosialisasi, argumentasi, apa gitu. Kadang-kadang bukan karena orangnya, bukan karena dia tidak mau, tapi karena enggak pernah disampaikan, enggak pernah disosialisasikan lebih dahulu," katanya.
Ia mencontohkan, protes sering kali muncul karena kebijakan yang dibuat tanpa proses komunikasi yang baik. Winengan menekankan komunikasi adalah kunci dalam pelaksanaan kebijakan, baik di pemerintahan maupun lembaga pendidikan.
"Makanya dalam beberapa persoalan kebijakan, seringkali masyarakat itu memprotes sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di dalam pelaksanaannya. Kenapa, Karena tidak pernah ada komunikasi terlebih dahulu."
Sebelumnya, polemik internal di tubuh Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB terus menjadi sorotan publik. Konflik yang mencuat belakangan ini dipicu oleh dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Ketua Yayasan serta sejumlah kebijakan kontroversial yang dinilai tidak transparan, sewenang-wenang, dan jauh dari prinsip good governance.
Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat NTB Peduli merespons kondisi tersebut dengan menggelar aksi demonstrasi pada Senin (19/5). Mereka menuntut penonaktifan Ketua Yayasan RSI NTB, pelibatan audit independen, serta evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan anggaran dan kebijakan yang diterapkan, termasuk permintaan pencopotan Rektor Institut Kesehatan (Inkes) Mataram yang dinilai tidak sejalan dengan nilai pendidikan Yarsi. (M-3)