
PENELITI Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian menyatakan bahwa perlunya tindak tegas dari pemerintah terhadap pelaku beras oplosan yang merugikan konsumen.
"Selama ini pemerintah kurang menindak tegas pelaku penyimpangan dan kurangnya transparansi data terkait pendistribusian beras. Barang-barang stratgeis apalagi beras semestinya bisa terlacak stoknya dari mulai hulu-distribusi-konsumen," ucap Eliza saat dihubungi, Senin (7/7).
Ia menambahkan, temuan 85,56% beras premium dan 88,24% beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. Selain itu, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku.
"Jadi memang perlu efek jera misal mencabut izin usaha atau denda berkali kali lipat," tegas Eliza.
Beras oplosan ini, sambung Eliza, merupakan persoalan fundamental yang telah lama terjadi. Pasalnya, Indonesia telah memiliki regulasi terkait standarisasi beras, akan tetapi hal itu justru diikuti dengan implementasi dan pengawasan yang lemah. Ditambah lagi, tidak ada regulasi ketat untuk distributor yang harus mengedarkan beras sudah diverifikasi atau distandarisasi oleh jasa pemastian.
Selain itu, Eliza menilai bahwa penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang disubsidi pemerintah disalurkan lewat pengecer ritel. Ia menilai hal itu membuka peluang besar bahwa beras SPHP dioplos jadi premium.
"Makanya harusnya penyaluran SPHP sama seperti bantuan pangan langsung ke KPM (keluarga penerima manfaat). Jika bantuan pangan untuk kalangan miskin, SPHP itu untuk kelas rentan miskin dan calon kelas menengah. Jadi data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dan data kesejahteraan sosial ini harus digabungkan agar penyalurannya optimal," bebernya.
Praktik beras oplosan yang marak, lanjutnya, dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas yang dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang begitu sensitif, bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.
Oleh karena itu, Eliza memberikan solusi kepada pemerintah agar menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera, melakukan reformasi rantai pasok dengan cara memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.
"Jadi petani ini di koperasi atau gapoktan memiliki RMU (rice milling unit) agar petani menjual dalam bentuk beras, bukan lagi gabah. Untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan. Adanya sertifikasi ini akan meningkaktkan traceability sehingga konsumen tahu beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya," tandasnya. (Fal/I-1)