Pemerintah Diminta Gunakan Standar World Bank untuk Ukur Garis Kemiskinan

1 day ago 8
Pemerintah Diminta Gunakan Standar World Bank untuk Ukur Garis Kemiskinan Ilustrasi: sejumlah warga duduk di rumahnya di bantaran kali Ciliwung kawasan Manggarai(Dok.MI)

DIREKTUR Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda meminta agar pemerintah mulai menggunakan standar World Bank untuk lower middle income country sebesar US$3,65 per hari atau Rp61 ribu per hari dalam mengkategorikan garis kemiskinan.

"Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan angka Badan Pusat Statistik (BPS), tapi lebih menggambarkan kondisi kemiskinan di Indonesia. Selama ini orang dengan pengeluaran Rp25 ribu per hari dikategorikan tidak miskin, padahal Rp25ribu per hari itu sudah sulit. Makanya UMR di beberapa daerah masih dianggap wajar karena perhitungan kemiskinan BPS yang sudah tidak relevan lagi," ujar Huda saat dihubungi, Rabu (11/6).

Jika menggunakan angka garis kemiskinan upper middle income country dari World Bank sebesar Rp115ribu per hari atau US$6.85 per hari, Huda menyebut jumlah penduduk miskin Indonesia melonjak drastis. Data BPS, sambung Huda, menggunakan standar sendiri berupa Rp595 ribu per bulan dengan angka kemiskinan di angka 8.57%. Apabila menggunakan standar World Bank untuk upper middle income country (Rp115 ribu per hari), angka kemiskinan di angka 60,3%. 

"Pemerintah tetap menggunakan angka BPS karena terkait dengan bantuan sosial yang diberikan. Jika menggunakan standar World Bank, anggaran kita untuk bansos bisa jebol. Di tengah kebutuhan anggaran untuk program unggulan Prabowo yang besar, sulit untuk melihat pemerintah mengkaji angka kemiskinan kembali," bebernya.

Huda menyebut, ketika angka kemiskinan tidak digambarkan dengan baik oleh BPS, maka yang terjadi adalah banyaknya target penerima bantuan yang salah sasaran. Ia menyampaikan bahwa penyaluran bansos sekarang memang sangat bermasalah di mana terdapat dua kondisi masalah penyaluran bansos. 

"Pertama adalah exclusion error. Orang yang seharusnya dapat, malah tidak dapat bansos. Kedua adalah inclusion error. Orang yang seharusnya tidak dapat malah dapat. Keduanya berawal dari data yang tidak valid dan tidak menggunakan data tunggal. Maka dari itu, yang paling utama adalah data harus diperbaiki. Kondisi ini akan terus terjadi ketika data kemiskinan kita tidak menggambarkan kondisi riil yang ada," tandasnya. (Fal/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |