
EPIDEMOLOG sekaligus peneliti Global Health Security, dr. Dicky Budiman, mengatakan bahwa saat ini dunia sedang memberikan perhatian serius pada virus Lujo (LUJV) dan virus Oropouche (OROV). Untuk itu, pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai hal ini.
Meski bukan virus baru, kedua virus ini sedang banyak menyita perhatian. Virus Lujo sendiri adalah virus yang dijuluki dari singkatan Kota Lusaka di Zambia dan Johannesburg di Afrika Selatan. Virus ini pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada 2008 dengan tingkat kematian yang sangat tinggi.
“Dikatakan empat dari lima kasus meninggal. Jadi 80 persen angka kematiannya. Jadi sangat serius,” ungkapnya.
Dicky mengatakan, penularan virus Lojo melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien. Penularan ini mirip seperti virus Ebola dan bersifat nosokomial. Artinya, infeksi bisa terjadi di antara petugas kesehatan dan umumnya di fasilitas kesehatan. Adapun gejalanya mirip dengan demam berdarah.
“Sampai saat ini belum ditemukan vektor alami yang pasti. Tapi diduga itu dari hewan pengerat seperti tikus,” ujarnya.
Adapun virus Oropouche adalah virus yang menyebabkan demam akut dengan penyebaran terutama di Amerika Selatan, Brazil, Peru, Panama dan sekitarnya. Dicky mengingatkan potensi penyebaran bisa meluas ke negara lain dengan iklim tropis.
“Vektor utamanya adalah nyamuk Culicoides Paraensis dan beberapa jenis nyamuk Culex,” ujarnya.
Virus Oropouche ditularkan melalui gigitan serangga nyamuk, misalnya, atau Culicoides. Namun Dicky mengatakan belum ada bukti hingga saat ini penularan antarmanusia. “Tapi berisiko menyebabkan wabah lokal terutama di daerah padat penduduk dan tropis, termasuk Indonesia,” katanya.
Dicky mengatakan virus Lujo memiliki masa inkubasi 7-13 hari dengan gejala awal demam tinggi, lemas, nyari otot, dan sakit kepala. Sedangkan gejala yang paling berat berupa pendarahan sampai kegagalan multi organ. Menurut Dicky, keparahan gejala ini yang membuat tingkat kematian Lujo mencapai 80 persen.
“Virus ini bisa didiagnosa dengan alat PCR dan diperlukan laboratorium tipe BSL-4 ya. Biosafety level 4,” kata dia.
Sedangkan masa inkubasi virus Oropouche lebih singkat, yakni 4-8 hari. Adapun gejala umum hampir mirip dengan flu, misalnya, demam, nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, dan mual.
Dicky menjelaskan Oropouche umum tidak parah, tetapi sering kambuh. Gejala ini yang membuat virus ini salah diagnosa karena mirip dengan demam berdarah.
“Kenapa dua virus ini saya angkat. Virus Lujo, misalnya, memang belum terdetaksi di Asia. Tetapi Asia menjadi tempat risiko tinggi penyebaran karena mobilitas tinggi. Apalagi Indonesia dengan perjalanan ekspatriat, haji, dan umrah,” tuturnya.
Seperti virus Lujo, virus Oropouche juga belum terdetaksi di Indonesia. Namun Dicky khawatir iklim tropis Indonesia cocok untuk vektor serangga virus ini. Apalagi ia melihat potensi ‘reassortment’ genetik dengan virus lain melalui nyamuk lokal sangat besar. Ia mengatakan Indonesia memiliki kemungkinan untuk kemunculan virus Oropouche melalui zoonosis.
“Tapi tantangannya untuk Indonesia adalah sistem surveillance penyakit baru kita masih lemah,” kata Dicky.
Dicky menuturkan Indonesia belum memiliki tes diagnosa cepat di rumah sakit, terutama rumah sakit di daerah. Terlebih, potensi besar salah diagnosis virus Oropouche dengan Zika atau Cikungunya.
“Kita punya ketergantungan pada rujukan luar negeri untuk identifikasi virus baru ini. Artinya untuk pemerintah, kita harus memperkuat surveillance emerging infectious disease di bandara, pelabuhan, dan rumah sakit rujukan,” pungkas Dicky.
Dicky juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan laboratorium tipe biosafety level 4 dalam negeri untuk mendeteksi penyakit langka. (H-4)