Pembatasan Usia Anak Bermedia Sosial

1 day ago 6
Pembatasan Usia Anak Bermedia Sosial (MI/Duta)

SALAH satu upaya yang sedang dikembangkan pemerintah untuk mencegah dampak negatif media sosial ialah melakukan pembatasan usia bagi penggunanya. Meta, misalnya, perusahaan raksasa teknologi global, merekomendasikan batas usia minimal 13 tahun untuk anak-anak yang diperkenankan bermedia sosial. Usulan Meta itu disampaikan merespons rencana pemerintahan Prabowo Subianto menerbitkan aturan batas usia minimal bermedia sosial.

Anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun tidak boleh menggunakan platform user generated content sebab risiko yang bakal timbul bukan tidak mungkin merugikan proses tumbuh kembang anak. Untuk anak dalam rentang usia 13 hingga 18 tahun, mereka diperkenankan bermedia sosial karena dari segi kegunaan, platform media sosial sesungguhnya memiliki manfaat yang luar biasa.

PEMBATASAN USIA

Selama ini, sejumlah media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, dan X lazim diakses dan digunakan para netizen--tak terkecuali anak-anak. Lebih dari sekadar alat komunikasi, melalui media sosial, anak-anak sebetulnya akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dan pengetahuan mereka. Namun, yang menjadi masalah ketika penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak terkontrol dengan baik.

Anak-anak yang pada awalnya dapat mengakses informasi yang dibutuhkan dan memperoleh pengetahuan melalui media sosial dalam perkembangannya bukan tidak akan menyimpang. Godaan konten yang berseliweran di media sosial, jika tidak disikapi dengan hati-hati, dengan mudah akan ditelan mentah-mentah oleh anak-anak yang secara psikologis belum matang.

Pertama, studi yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2020 menemukan bahwa sekitar 70% anak-anak di Indonesia menggunakan media sosial dan 40% di antaranya mengalami dampak negatif seperti kecemasan dan depresi. Anak-anak yang perilakunya belum sepenuhnya matang, mereka kerap kali dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak pengelola media sosial.

Selain mengalami ketergantungan dan adiktif untuk terus bermedia sosial, kerap kali anak-anak mengalami nomofobia. Setiap hari mereka bergantung pada media sosial dan menghabiskan waktu yang berlebihan di depan layar gadget mereka. Alih-alih membagi waktu untuk belajar dan bermain, anak-anak yang kecanduan gatget bukan tidak mungkin mengorbankan waktu tidur mereka untuk terus bermain gadget.

Anak-anak yang kecanduan gadget berpotensi tumbuh menjadi anak yang soliter. Mereka tidak lagi menyisihkan waktu untuk bermain-main dan jalan-jalan peer group mereka, tetapi lebih memilih menyendiri di kamar sembari membuka gadget atau HP mereka. Kesempatan anak untuk bermain dengan teman bukannya tidak ada, melainkan anak-anak lebih memilih menyendiri di kamar berkelana di dunia maya hingga tengah malam. Paparan cahaya biru yang dipancarkan handphone atau televisi tanpa disadari mengganggu pola tidur anak dan bahkan menyebabkan anak kesulitan memejamkan mata.

Studi yang dilakukan American Academy of Pediatrics (AAP) pada 2018 menemukan bahwa anak-anak yang menggunakan media sosial lebih dari 2 jam sehari memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan masalah tidur.

Studi Royal Society for Public Health (RSPH) pada 2017 menemukan bahwa media sosial dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan mental anak-anak dan remaja, termasuk meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah tidur. Seorang anak yang setiap hari lama terpapar dan kecanduan media sosial cenderung mengalami problema mereka sendiri.

Kedua, ketika anak dibiarkan bermain media sosial, dampak yang tidak terelakkan ialah risiko anak-anak itu menjadi korban cyberbullying yang dapat menyebabkan stres dan masalah emosi. Banyak kasus membuktikan bahwa media sosial dapat memengaruhi anak dengan konten yang tidak pantas seperti menjadi korban tidak kekerasan, seksualitas, atau diskriminasi.

Studi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019 menemukan bahwa penggunaan media sosial pada anak-anak dapat memengaruhi perkembangan sosial, emosi, dan kognitif mereka. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi ketika anak-anak diterpa terus-menerus konten-konten radikal, hoaks, dan konten negatif lainnya.

Di usia yang masih belia, anak-anak umumnya belum memiliki kemampuan literasi kritis yang memungkinkan mereka mampu menyaring konten-konten mana yang tidak bermasalah dan konten mana yang berbahaya. Perilaku anak yang cenderung imitatif, misalnya, tentu sangat berbahaya jika mereka terpapar konten cyberporn yang terbuka. Anak-anak niscaya sulit menghindari konten seperti itu. Bahkan, didorong rasa ingin tahu yang luar biasa kuat, mereka bisa ketagihan dan kemudian melakukan perilaku seks yang permisif di usia dini.

DUKUNGAN

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) hingga saat ini memang belum memutuskan berapa batas usia yang ideal bagi anak atau remaja diperkenankan menggunakan media sosial. Kementerian juga belum bisa memastikan apakah pembatasan usia hanya untuk media sosial atau seluruh jenis platform digital.

Di sejumlah negara, pembatasan usia anak mengakses media sosial sudah banyak dilakukan. Di Australia, misalnya, sejak November 2024, parlemen negara itu telah menyetujui peraturan perundang-undangan yang melarang media sosial untuk anak-anak dan remaja berusia di bawah 16 tahun. Uji coba peraturan dimulai per Januari 2025 dan akan berlaku efektif setahun kemudian. Perusahaan digital yang tidak menerapkan peraturan itu akan didenda hingga US$32,5 juta atau Rp525,5 miliar. Kebijakan pemerintah Australia tentu diputuskan dengan dasar pertimbangan yang matang.

Di Eropa, kebijakan yang sama juga diberlakukan untuk melindungi data pribadi dan keselamatan anak di dunia maya. Anak sebelum berusia 16 tahun dilarang menggunakan media sosial. Sementara itu, di Amerika Serikat, meski tidak ada peraturan federal yang mengatur pembatasan usia bermedia sosial, sejumlah negara bagian telah memiliki peraturan sendiri untuk melindungi anak-anak dari bahaya media sosial.

Untuk memastikan agar regulasi yang dikeluarkan tentang pembatasan usia anak bermedia sosial dapat bermanfaat secara efektif, sudah barang tentu yang dibutuhkan tidak hanya aturan tertulis. Setiap pasal dalam aturan yang dikeluarkan memang harus bermanfaat melindungi anak dari kecanduan teknologi dan konten negatif sambil tetap mendorong pemanfaatan ruang digital yang sehat dan bertanggung jawab.

Lebih dari sekadar aturan teknis pembatasan usia, yang dibutuhkan tentu ialah dukungan sekolah, guru, orangtua, dan keluarga yang juga harus memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk ikut mengawasi dan melindungi siswa serta anak-anak mereka dari ancaman bahaya media sosial. Tanpa dukungan sekolah dan keluarga, jangan harap regulasi pembatasan usia bermedia sosial dapat berjalan efektif.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |