
SENGKETA hasil Pilkada 2024 yang sempat bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berujung pada pemungutan suara ulang (PSU) tak menjadi acuan untuk diamini oleh semua pihak, baik peserta, penyelenggara, maupun pengawas. Pasalnya, hasil PSU Pilkada 2024 pun kembali disengketakan lagi ke MK dengan permasalahan yang itu-itu saja.
Dalam sidang perdana sengketa hasil PSU Pilkada Kabupaten Banggai 2024 di MK hari ini, Jumat (25/4), terungkap bahwa masalah yang dibawa ke persidangan masih bersifat klasik yang didaur ulang tanpa solusi dan antisipasi serius.
Misalnya, calon nomor urut 1 yang berstatus pertahana, yakni Amirudin Tamoreka dan Furqanuddin Masulili yang menghadiri pengajian akbar serta santunan anak yatim sekitar dua pekan sebelum pelaksanaan PSU. Pasangan itu juga disebut-sebut tidak mengajukan cuti saat menghadiri kegiatan tersebut.
"Itu masalah klasik yang didaur ulang, tetapi tidak ada antisipasi serius dan solusi. Seharunya PSU ini menjadi momentum untuk berbenah dan tidak lagi melakukan banyak kecurangan," terang Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati kepada Media Indonesia, Jumat (25/4).
Neni mengatakan, alih-alih mengantisipasi bentuk pelanggaran yang bakal terjadi saat PSU, penyelenggara maupun pengawas justru seakan membiarkan maraknya pelanggaran dengan daya rusak yang semakin parah. Ia menilai, baik penyelenggara, pengawas, maupun peserta PSU Pilkada 2024 tak pernah mau belajar dari pengalaman.
Terkait tidak cutinya peserta Pilkada 2024 saat PSU, Neni menyinggung adanya aturan yang membingungkan secara teknis. Pasalnya, aturan versi Kementerian Dalam Negeri yang diikuti peraturan KPU juga tak mewajibkan cuti saat PSU.
Lebih lanjut, Neni juga menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran yang terjadi saat PSU di Kabupaten Tasikmalaya. Salah satunya, Wakil Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin yang diduga memalsukan tanda tangan surat ke kepala desa dan camat guna kepentingan pemenangan politik. (P-4)