Paus Fransiskus Dimakamkan, Tinggalkan Warisan Inklusif dan Seruan Perdamaian

2 days ago 15

KEMATIAN Paus Fransiskus, yang meninggal dunia pada usia 88 tahun setelah berjuang melawan stroke dan gagal jantung, memicu gelombang emosi di seluruh dunia.

Pemimpin Gereja Katolik selama 12 tahun ini meninggalkan warisan besar, mengarahkan Gereja yang berusia berabad-abad untuk lebih inklusif, berfokus pada masalah sosial, dan memberi perhatian khusus kepada yang terpinggirkan.

Sebelum pemakaman Paus Fransiskus yang digelar di Vatikan hari ini Sabtu (26/4), lebih dari 200.000 orang memenuhi Lapangan Santo Petrus.

Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, menyaksikan prosesi melalui layar besar, dengan suasana hening yang mengharukan setelah lonceng Santo Petrus berdentang.

Keberadaan sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Donald Trump, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dan Presiden Argentina Javier Milei, menambah kesan mendalam pada acara tersebut.

Namun, pemakaman Paus Fransiskus bukan sekadar perpisahan; itu adalah simbol global atas perubahan yang ia bawa dalam kepemimpinan Gereja.

Sebagai Paus yang berani melawan arus, Fransiskus mengecam ketidakadilan sosial—dari perlakuan terhadap migran hingga kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan global.

Tindakan kontroversialnya, seperti membuka pintu Gereja bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi, menyetujui pembaptisan untuk transgender, dan memberkati pasangan sesama jenis, menantang norma-norma lama yang kaku.

Tindakan Paus dalam mendukung migran dan pengungsi, seperti saat ia mengunjungi Lampedusa, pulau yang sering menjadi titik pertama bagi migran yang menyeberangi Laut Mediterania, membuatnya dihormati banyak orang.

Namun, kebijakan Presiden Trump yang kontroversial tentang deportasi massal menjadi titik ketegangan antara keduanya. Meskipun demikian, Trump menyebutnya sebagai "pria baik" yang "mencintai dunia," sementara Paus tetap mengutuk kebijakan tersebut.

Dalam homili pemakaman, Cardinal Giovanni Battista Re menekankan panggilan Paus Fransiskus untuk "membangun jembatan, bukan tembok," sebuah seruan yang resonan di tengah ketegangan politik global saat ini.

"Paus berjuang untuk sebuah Gereja yang peduli dengan masalah umat manusia dan kecemasan besar yang memporak-porandakan dunia kontemporer," ujar Battista Re.

Meskipun banyak yang memandangnya sebagai sosok radikal, Fransiskus selalu konsisten dengan ajaran tradisional Gereja dalam hal aborsi, sekaligus memberikan perhatian lebih pada kerukunan sosial dan integrasi umat manusia tanpa menghakimi.

Dalam hidupnya, ia memilih hidup sederhana, menghindari istana kepausan dan tinggal di rumah tamu Vatikan. Ia juga meminta untuk dimakamkan dengan cara yang sama sederhana: peti kayu dalam makam marmer yang hanya bertuliskan "Franciscus."

Namun, Paus Fransiskus lebih dari sekadar pemimpin spiritual; ia adalah simbol harapan bagi mereka yang terpinggirkan, bagi mereka yang merasa terabaikan oleh arus utama masyarakat.

Melalui ajaran dan gesturnya, ia menunjukkan bahwa ada jalan lain untuk hidup dalam iman yang tidak membedakan status sosial, orientasi seksual, atau keyakinan.

Setelah pemakaman, Kardinal-kardinal akan berkumpul untuk memilih Paus baru yang akan memimpin Gereja Katolik yang kini beranggotakan lebih dari 1,4 miliar umat di seluruh dunia.

Namun, warisan yang ditinggalkan Paus Fransiskus akan terus menjadi pembicaraan di seluruh dunia, menginspirasi perdebatan tentang masa depan Gereja Katolik dan peranannya dalam menyikapi isu-isu sosial dan politik kontemporer. (AFP/Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |