
PAKAR otonomi daerah, Djohermansyah Djohan dalam pelaksanaan Hari Otonomi Daerah ke-29 di Balikpapan, Kalimantan Timur pada Jumat (25/4), mengatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang merupakan salah satu amanat gerakan reformasi 1998, saat ini kondisinya tidak baik-baik saja dan cenderung mundur.
“Timbul re-sentralisasi dan de-otonomisasi. Terjadi penarikan berbagai kewenangan sektoral oleh pemerintah pusat, antara lain di bidang kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan, perumahan, dan aneka perizinan. Padahal kewenangan itu adalah rohnya otonomi daerah,” ujar Djohermansyah dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Minggu (27/4).
Padahal kata guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu, kewenangan tersebut merupakan roh dari otonomi daerah. Menurutnya, pemerintah daerah (pemda) tanpa wewenang yang cukup, tidak dapat mengurus kepentingan masyarakat lokal mulai dari pelayanan publik hingga percepatan pembangunan.
“Aktor pemerintahan kita di pusat agaknya kurang ikhlas melepas kewenangan kepada daerah. Tentu ada alasannya. Salah satunya adalah karena pemda tak mengurus kewenangan itu dengan baik,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah mengatakan salah satu tindakan penyalahgunaan yang kerap terjadi di daerah adalah praktik perizinan kehutanan dan pertambangan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Menurutnya, jual beli perizinan ilegal itu terjadi untuk memberikan modal kepala daerah petahana agar bisa kembali maju pada pilkada.
Selain itu, Mantan Dirjen Otda Kemendagri periode 2010-2014) itu menuturkan, tindakan penyalahgunaan juga terjadi pada bidang keuangan daerah. Hal itu dapat dilihat dari praktik ketidakadilan fiskal dan makin ketatnya pengendalian pusat.
Djohermansyah menjelaskan sistem otonomi daerah di Indonesia yang mendesain pemda untuk mengelola 32 urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, cukup berat lantaran dana transfer ke daerah (546 daerah otonom) hanya sekitar sepertiga dari APBN, terlebih lagi jumlah ASN yang bekerja di Pemda hampir mencapai 80% dari total ASN.
“(Sementara) di banyak negara, prakteknya separuh lebih ‘state budget’ dialokasikan kepada daerah otonomnya. Di negara kita tak terjadi, karena anggaran besar diperlukan guna membiayai birokrasi pusat yang gemuk,” tukasnya.
Menurut Djohermansyah, uang daerah dari transfer pusat yang terbatas tersebut bisa ditambah dengan menggali PAD (pendapatan asli daerah). Namun sayangnya, praktik kemandirian tersebut hanya terjadi di daerah potensial dengan PAD tinggi seperti Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Badung di Bali, dan Kota Tangerang Selatan di Banten.
“Banyak daerah PAD-nya pas-pasan, untuk membiayai anggota DPRD saja sudah habis. Jangan heran, kalau banyak daerah kita jalannya pada rusak, sekolah ambruk dan jembatan gantung di desa saja tak terbangun, gara-gara uangnya sudah tak ada,” tuturnya.
Djohermansyah menilai meskipun kepada daerah terpilih memiliki visi dan misi yang beragam untuk memajukan daerahnya, hal yang dijanjikan saat kampanye tersebut sulit terealisasi sebab tak mendapat dukungan dari APBD.
“Di tengah-tengah kempesnya duit daerah, celakanya pemerintah pusat selalu minta daerah mendukung untuk membantu mengongkosi program-programnya, misalnya yang paling anyar Koperasi Desa Merah Putih,” katanya.
Tak hanya itu, pemerintah pusat juga tak segan meminta pemda untuk membangun fisik kantor instansi pusat di daerahnya. Menurut Djohermansyah, hal tersebut membuat beban Kepala daerah menjadi bertambah.
“Jadi mumet kepalanya. Dibantu susah, tak dibantu susah. Terkait pengendalian, dana transfer ke daerah yang relatif tak mencukupi itu, dipatok pula oleh pusat penggunaannya,” jelas Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) itu.
Hal itu, kata Djohermansyah, menyebabkan penggunaan Dana Alokasi Umum (block grant) terasa seperti DAK (spesific grant) karena penggunaannya harus sesuai petunjuk pusat. Penyeragaman olej pusat tersebut juga terjadi pada sistem tata usaha keuangan daerah melalui SIPD (sistem informasi pemerintahan daerah) yang kaku.
“Dalam bidang kepegawaian, pusat tidak saja mengelola penerimaan ASN, tapi kini juga sedang dibuat aturan lewat revisi UU ASN. Semua pejabat eselon I dan II di daerah-daerah, mutasinya menjadi kewenangan pusat, tidak lagi di tangan kepala daerah. Artinya, pejabat pembina kepegawaian bukan lagi kepala daerah tapi langsung presiden,” tukasnya.
Lebih jauh, pemerintah daerah juga tidak dibiarkan mandiri dalam menyusun produk hukum daerah (perda dan perkada). Hal itu lantaran pemda harus berkonsultasi dan meminta persetujuan pemerintah pusat terkait perda-perda mengenai pajak dan retribusi.
“Akibatnya, waktu pembuatan bisa menjadi lama dan ongkos konsultasi daerah ke pusat pun cukup besar. Begitulah kondisi otonomi daerah kita kini yang kian merana. Makin sentralistik,” katanya.
Keadaan itu, lanjut Djohermansyah, diperparah oleh mayoritas aktor pemerintahan lokal yang menyalahgunakan jabatan dan berperilaku koruptif. Dikatakan selama dua dekade ini, lebih dari 400 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah terkena kasus hukum.
“Mereka cenderung pragmatis, jalankan saja apa adanya. Miskin inovasi dan tak ada kreasi. Birokrasi di daerah juga dipaksa untuk tidak netral dalam pilkada, dan diintervensi dalam menjalankan administrasi. Untuk ini obatnya, memang hanya lewat perbaikan sistem pilkada,” jelasnya.
Menurut Djohermansyah, sistem Pilkada seharusnya jangan dijalan secara seragam melainkan secara simetris dengan melihat kekhususan daerah.
“Ada yang langsung, tak langsung, dan diangkat saja. Begitu pula wakil, ada daerah yang wakil kepala daerahnya tiga, dua, satu, dan nol. Mereka tak dipilih berpasangan tapi diangkat saja oleh kepala daerah terpilih (sistem mono-eksekutif),” ungkapnya.
Selain itu, Djohermansyah juga mendesak pemerintahan. prabowo Subianto merevisi Undang-Undang (UU) Pemda No 23 Tahun 2014 yang sudah berusia satu dekade lebih. Menurutnya, ada beberapa hal pokok kedaerahan yang harus ditata ulang.
“Membenahi pembagian urusan pemerintahan, memperjelas pembentukan daerah otonom, menguatkan fiskal daerah, membenahi manajemen kepegawaian pemda, mengefisienkan pembentukan produk hukum daerah, dan menyempurnakan sistem pengawasan. Semoga otonomi daerah kita bisa lebih maju lagi ke depan,” pungkasnya. (Dev/P-3)