
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang mengatur masa jabatan ketua umum.
“Menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/5).
Dalam perkara nomor 22/PUU-XXIII/2025 ini, MK juga memutuskan menolak permohonan pemohon yang berkaitan dengan permintaan sistem pergantian antar waktu (PAW) anggota legislatif harus melalui pemilihan ulang, bukan oleh penunjukan partai politik.
“Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas pada norma Pasal 239 ayat (2) huruf d dan huruf g UU 17/2014. Dengan sendirinya terhadap Penjelasan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU 17/2014 yang menyatakan ‘cukup jelas’ juga tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma,” ujar Hakim Enny Nurbaningsih.
Enny menjelaskan bahwa adanya mekanisme PAW merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan hubungan partai politik, calon legislatif, dan konstituen yang memilihnya.
“Dalam hal ini, bagi anggota partai politik yang mengalami pergantian antarwaktu (PAW) dan mempersoalkannya, maka terbuka ruang baginya untuk mendapatkan keadilan dengan menggunakan jalur hukum yang tersedia,” tukas Enny.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, dalam permohonan batas masa jabatan ketua umum partai, Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki legal standing.
"Kedudukan hukum pemohon, bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 adalah dosen dan mahasiswa, bukan mewakili parpol, bukan pengurus parpol, atau anggota parpol tertentu, maka Mahkamah menilai pemohon 1 dan 2 tidak memenuhi kedudukan hukum untuk melakukan pengujian Pasal 23 ayat 1 UU 2/2011," ucap Enny.
Selain itu, Enny mengatakan pendirian Mahkamah terkait penggantian antarwaktu (PAW), baik yang diusulkan oleh partai politik maupun yang disebabkan karena anggota DPR diberhentikan sebagai anggota partai politik adalah konstitusional demi menegakkan otoritas dan integritas partai politik.
“Selain itu, secara teknis pemilihan kembali sebagaimana dimohonkan para Pemohon tidak mungkin untuk diwujudkan karena dalam proses pemungutan suara yang tertutup tidak dapat diketahui siapa memilih siapa,” kata Enny.
Kemudian Enny menjabarkan terkait dalil para Pemohon mengenai perlunya keterlibatan rakyat dalam mekanisme PAW, sehingga meminta pada petitumnya agar dilakukan pemilihan kembali di Dapil yang anggota DPR terpilihnya diusulkan berhenti oleh partai politik.
“Atas hal ini Mahkamah berpendapat, hal tersebut justru tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan, karena dalam proses pemungutan suara yang tertutup tidak dapat diketahui siapa memilih siapa,” imbuhnya.
Apabila para Pemohon menghendaki semua pemilih dalam DPT di dapil tersebut diberi hak untuk menyatakan pendapat, hal demikian sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di dapil yang bersangkutan.
“Terlebih, sistem pemilihan umum anggota legislatif yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka, yang memadukan antara keberadaan partai politik dengan keberadaan calon anggota legislatif, yang tetap menjaga kedaulatan partai,” jelas Enny.
Atas dasar itu, dengan dibukanya kemungkinan untuk dilakukan ‘plebisit’, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip one man one vote, karena tidak bisa dipastikan siapa pemilih yang memilih anggota DPR yang di-PAW.
Menurut Enny, hal ini dapat terjadi jika pemilih yang sebelumnya tidak memilih anggota DPR yang akan di-PAW diberikan hak pilih dalam pemilihan kembali sebagaimana dalil para Pemohon.
“Sebab hal tersebut berkaitan dengan sifat kerahasiaan suara pemilih yang tidak bisa diketahui, di mana sesungguhnya pemilih dimaksud tidak lagi memiliki hak konstitusional untuk memilih pengganti calon anggota DPR yang di-PAW. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” terang Enny.
Sebelumnya, gugatan ini dilayangkan oleh dilayangkan oleh dosen hukum tata negara Universitas Udayana Edward Thomas Lamury yang meminta ada pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik.
Ia berpandangan bahwa ketiadaan batas masa jabatan pimpinan parpol menyebabkan kerusakan sistem demokrasi internal dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anggota parpol, serta menciptakan ketiadaan kesempatan bagi anggota parpol untuk menjadi ketua umum. (H-4)