
TAHUN 2025 menjadi saksi meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara global, termasuk di Indonesia. 42% perusahaan mengurangi jumlah pegawai. Paling banyak terdampak adalah karyawan tetap penuh waktu, disusul oleh pekerja paruh waktu, kontrak, dan temporer.
Perubahan teknologi, efisiensi perusahaan, serta ketidakstabilan ekonomi mendorong banyak organisasi melakukan restrukturisasi besar-besaran. Di balik statistik dan laporan keuangan, ada jutaan pegawai yang mengalami guncangan emosional luar biasa, bukan hanya karena kehilangan penghasilan, tetapi juga karena kehilangan arah, identitas, dan rasa aman.
Dalam situasi ini, mindfulness atau kesadaran penuh menjadi semakin penting dan relevan. Mindfulness adalah praktik menyadari kondisi saat ini dengan penuh penerimaan, tanpa menghakimi. Bukan sekadar tren kesehatan mental, mindfulness kini menjadi perisai batin bagi pegawai yang menghadapi tekanan ketidakpastian, baik mereka yang terdampak langsung PHK maupun yang masih bekerja dalam bayang-bayang ketakutan akan giliran berikutnya.
Aset terpenting
Pegawai yang mempraktikkan mindfulness cenderung lebih mampu mengelola kecemasan, menghadapi kenyataan dengan kepala dingin, dan tetap produktif meski berada dalam tekanan. Latihan sederhana seperti pernapasan sadar, refleksi harian, atau meditasi singkat dapat membantu menenangkan sistem saraf dan menjernihkan pikiran. Dengan latihan rutin tersebut, pegawai akan lebih cepat bangkit untuk memulai sesuatu yang baru.
Dalam dunia kerja yang menuntut kecepatan, mindfulness justru memberikan ruang untuk jeda--ruang yang sangat dibutuhkan agar kita tidak bereaksi secara impulsif, tapi merespons dengan bijak. Tidak hanya berdampak secara individu, mindfulness juga penting diterapkan dalam budaya organisasi.
Perusahaan yang menyediakan ruang refleksi, pelatihan kesadaran diri, atau program dukungan emosional menunjukkan kepedulian nyata terhadap kesejahteraan pegawai. Ini bukan hanya bentuk empati, tapi juga strategi mempertahankan loyalitas dan moral kerja yang sering runtuh setelah gelombang PHK.
Era badai PHK adalah masa sulit yang menuntut daya tahan lebih dari sekadar skill teknis. Di sinilah mindfulness memainkan perannya sebagai alat untuk bertahan dan tumbuh secara mental. Ketika segala hal di luar diri tidak dapat dikontrol, maka kendali atas pikiran dan perasaan menjadi aset terpenting. Dengan mindfulness, pegawai dapat menjaga ketenangan, memperkuat kepercayaan diri, dan bahkan menemukan makna baru dari setiap perubahan.
Kerja sama Media Indonesia Institute dengan Lembaga Manajemen FEB UI