Ilustrasi(freepik)
HAMPIR setiap orang pernah merasakan hal serupa: waktu terasa berjalan begitu lambat saat kita kecil, namun terasa cepat ketika dewasa. Masa liburan di sekolah dulu terasa panjang dan penuh petualangan, sementara sekarang, seminggu atau bahkan setahun bisa lewat begitu saja.
Fenomena ini sering membuat kita bertanya-tanya, apakah waktu memang benar-benar berubah, atau hanya cara kita merasakannya yang berbeda.
Mengutip tulisan di Psychology Today, para ilmuwan menjelaskan perubahan ini terjadi karena otak memproses waktu secara berbeda di setiap tahap kehidupan.
Saat masih kecil, dunia penuh dengan hal baru pengalaman pertama bersekolah, bersepeda, atau bertemu teman. Setiap momen terasa segar dan membutuhkan perhatian penuh, sehingga otak kita mencatat banyak detail. Karena begitu banyak informasi baru yang diproses, persepsi waktu terasa lebih panjang.
Otak pasif terhadap rutinitas
Seiring bertambahnya usia, kehidupan dilakukan sebagai “runtinitas”. Bangun tidur di jam yang sama, melakukan pekerjaan serupa, lalu beristirahat dengan pola yang nyaris sama setiap hari. Di saat itu otak mengenali pola dan tidak “mencatat” semuanya secara mendalam. Akibatnya waktu terasa lebih cepat.
Menurut riset di Universitas Michigan, semakin sedikit hal baru yang dialami, semakin sedikit otak memproses informasi. Waktu seolah-olah “memampat” atau memadat.
Penjelasan ini dapat juga diketahui melalui teori proporsi waktu terhadap umur. Penggambarannya, bagi anak berusia lima tahun, satu tahun seakan-akan porsi besar bagi hidupnya karena berbagai macam pengalaman baru dirasakan.
Tapi bagi seseorang berusia lima puluh tahun, satu tahun hanya sebagian kecil dari seluruh waktu hidupnya. Karena secara proporsional lebih kecil, satu tahun terasa jauh lebih singkat.
Selain itu secara biologis, proses penuaan membuat otak bekerja sedikit lebih lambat dalam memproses rangsangan. Mengutip drdavidhamilton.com, Dr. David Hamilton menjelaskan sinyal saraf di otak orang dewasa bergerak lebih efisien namun kurang padat, sehingga otak menerima “frame” pengalaman yang lebih sedikit, seperti menonton film dengan kecepatan lebih tinggi.
Pengalaman baru
Meski waktu tak dapat dihentikan, bagaimana mengubah pandangan akan pengalaman, bisa dilakukan. Sebagaimana ditulis dalam laman LSA Psychology Michigan, ketika mempelajari hal baru, bepergian ke tempat berbeda, atau keluar dari rutinitas, sensitivitas terhadap waktu menjadi lebih luas.
Setiap pengalaman baru dapat memperkaya ingatan dan hal itu membuat waktu terasa lebih panjang. Cara terbaik memperlambat laju waktu adalah dengan hidup penuh rasa ingin tahu.
Maka, dugaan bahwa waktu berjalan cepat bukan pertanda buruk. Hal itu merupakan bukti bahwa banyak hal dialami, mengenal pola, dan hidup dalam ritme yang stabil. Namun agar hidup tak terasa “berlalu begitu saja,” perlu sesekali “menjauh” dari kebiasaan, mencoba hal baru, dan menciptakan momen yang membuat waktu terasa berhenti sejenak.
Sumber: drdavidhamilton.com, LSA Psychology Michigan, Psychology Today, livescience.com.


















































