Mayoritas Masyarakat Setuju Pancasila In Line dengan Agama yang Dianut

3 hours ago 2
Mayoritas Masyarakat Setuju Pancasila In Line dengan Agama yang Dianut (MI/Ihfa Firdausya)

MAARIF Institute bekerja sama dengan Lab Survei Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) meluncurkan "Survei Nasional tentang Variasi Pandangan dan Praktik Keagamaan". Salah satunya mengenai persepsi tentang kesesuaian Pancasila dengan agama yang dianut masyarakat Indonesia.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menyebut hasil dari survei tersebut memperlihatkan persepsi positif terkait hal itu.

"Kalau dulu masih banyak yang meragukan Pancasila atau meragukan kompatibilitas Islam dan Pancasila, atau mencoba mengkontraskan identitas kita sebagai muslim dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia, tetapi dalam survei itu tercapture data sekitar 50%-80% itu punya pandangan positif terhadap Pancasila," kata Andar dalam diskusi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis (13/3)

Peneliti Maarif Institute Yahya Fathur Rozy merinci, pertanyaan dari survei itu adalah seberapa setuju atau tidak setuju dengan pernyataan Pancasila sesuai dengan agama atau keyakinan yang dianut.

"Jadi mayoritas 65,6% setuju bahwasannya nilai Pancasila itu inline dengan nilai-nilai agama mereka dan 20,7% sangat setuju. Sebanyak 6,3% kurang setuju dan 1,8% tidak setuju sama sekali, sangat sedikit (yang tidak setuju) untuk persentasenya," jelas Yahya.

Terkait faktor gender, laki-laki (87,9%) dan perempuan (84,9%) memiliki perbedaan kecil dalam tingkat kesesuaian nilai Pancasila dan agama. 

Kemudian gen X memiliki persetujuan yang tinggi, bahwasannya nilai agama itu inline dengan nilai Pancasila, yakni 87,2%. Namun generasi baby boomer itu lebih rendah untuk analisa ini, yakni 84,9%.

Dari segi etnisitas, yang paling setuju dengan anggapan bahwasannya nilai Pancasila lebih sesuai dengan nilai agama yang mereka anggap itu suku bugis dan batak, masing-masing 98,4% dan 96,8%. Terendah yakni Betawi (76,7%) dan Madura (70,3%) Ini.

"Lalu dari segi pendidikan, polanya semakin tinggi pendidikan, semakin setuju bahwasannya nilai Pancasila itu inline dengan nilai agama yang mereka anggap," kata Yahya.

Sementara dari segi afiliasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah juga memiliki persetujuan tinggi, yakni masing-masing 87,6% dan 88,4%.

"Mungkin karena keduanya organisasi Islam moderat. Dan mereka atau responden yang tidak memiliki afiliasi itu memiliki persetujuan yang rendah," kata Yahya.

"Dari latar belakang pesantren, pesantren modern memiliki persetujuan tinggi, dan pesantren salafi itu lebih rendah karena mungkin faktor kurikulum yang lebih konservatif," imbuhnya.

Staf Khusus Menteri Agama Bidang Pendidikan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Moderasi Beragama Farid F Saenong mengatakan bahwa di satu sisi hasil itu menunjukkan rasa aman bahwa persoalan ideologis di Indonesia pada dasarnya sudah selesai.

"Tetapi kita juga tidak bisa berdiam diri bahwasannya pertanyaan yang begitu singkat dalam survei ini tentang kesesuaian Pancasila dengan agama yang dianut, kita mungkin bisa bertanya-tanya apakah kemudian itu bisa mewakili sebuah perspektif bahwa kita tidak punya lagi persoalan ideologis di bangsa ini," paparnya dalam kesempatan yang sama.

Kalau hanya berkata bahwa ajaran-ajaran Pancasila sesuai dengan Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya, ia mempertanyakan apakah tidak ada persoalan lagi persoalan-persoalan di masa-masa awal berdirinya bangsa ini. Misalnya ide atau diskusi mengenai negara berbasis agama.

"Sebagai sebuah perspektif, kita sudah tidak menghadapi persoalan ini. Apalagi ditambah dengan maraknya proyek moderasi beragama yang salah satu prinsipnya adalah kesetiaan tertinggi kepada negara. Paling tidak sudah menunjukkan bahwa persoalan ini memang selesai di permukaan," kata Farid.

"Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwasannya selalu saja ada tantangan sendiri di lapis-lapis tertentu bahwa persoalan ideologis ini belum selesai. Masih banyak diskusi-diskusi underground yang sekali lagi ingin menampilkan nostalgia-nostalgia masa lalu terkait dengan pendirian negara Islam misalnya di Indonesia," imbuhnya.

Hal itu, katanya, menjadi aspek kualitatif yang sedikit tertinggal dari survei ini. "Tetap perlu dieksaminasi bahwasannya pertanyaan-pertanyaan tadi yang dihadapkan kepada para responden itu kemudian tidak memberikan jaminan 100% bahwa persoalan ideologis ini sudah selesai," pungkasnya. (Ifa)Iurvei Sebut Mayoritas Masyarakat Setuju Kesesuaian Pancasila dengan Agama

Maarif Institute bekerja sama dengan Lab Survei Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) meluncurkan "Survei Nasional tentang Variasi Pandangan dan Praktik Keagamaan". Salah satunya mengenai persepsi tentang kesesuaian Pancasila dengan agama yang dianut masyarakat Indonesia.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menyebut hasil dari survei tersebut memperlihatkan persepsi positif terkait hal itu.

"Kalau dulu masih banyak yang meragukan Pancasila atau meragukan kompatibilitas Islam dan Pancasila, atau mencoba mengkontraskan identitas kita sebagai muslim dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia, tetapi dalam survei itu tercapture data sekitar 50%-80% itu punya pandangan positif terhadap Pancasila," kata Andar dalam diskusi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis (13/3)

Peneliti Maarif Institute Yahya Fathur Rozy merinci, pertanyaan dari survei itu adalah seberapa setuju atau tidak setuju dengan pernyataan Pancasila sesuai dengan agama atau keyakinan yang dianut.

"Jadi mayoritas 65,6% setuju bahwasannya nilai Pancasila itu inline dengan nilai-nilai agama mereka dan 20,7% sangat setuju. Sebanyak 6,3% kurang setuju dan 1,8% tidak setuju sama sekali, sangat sedikit (yang tidak setuju) untuk persentasenya," jelas Yahya.

Terkait faktor gender, laki-laki (87,9%) dan perempuan (84,9%) memiliki perbedaan kecil dalam tingkat kesesuaian nilai Pancasila dan agama. 

Kemudian gen X memiliki persetujuan yang tinggi, bahwasannya nilai agama itu inline dengan nilai Pancasila, yakni 87,2%. Namun generasi baby boomer itu lebih rendah untuk analisa ini, yakni 84,9%.

Dari segi etnisitas, yang paling setuju dengan anggapan bahwasannya nilai Pancasila lebih sesuai dengan nilai agama yang mereka anggap itu suku bugis dan batak, masing-masing 98,4% dan 96,8%. Terendah yakni Betawi (76,7%) dan Madura (70,3%) Ini.

"Lalu dari segi pendidikan, polanya semakin tinggi pendidikan, semakin setuju bahwasannya nilai Pancasila itu inline dengan nilai agama yang mereka anggap," kata Yahya.

Sementara dari segi afiliasi keagamaan, NU dan Muhammadiyah juga memiliki persetujuan tinggi, yakni masing-masing 87,6% dan 88,4%.

"Mungkin karena keduanya organisasi Islam moderat. Dan mereka atau responden yang tidak memiliki afiliasi itu memiliki persetujuan yang rendah," kata Yahya. (H-1)

"Dari latar belakang pesantren, pesantren modern memiliki persetujuan tinggi, dan pesantren salafi itu lebih rendah karena mungkin faktor kurikulum yang lebih konservatif," imbuhnya.

Staf Khusus Menteri Agama Bidang Pendidikan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Moderasi Beragama Farid F Saenong mengatakan bahwa di satu sisi hasil itu menunjukkan rasa aman bahwa persoalan ideologis di Indonesia pada dasarnya sudah selesai.

"Tetapi kita juga tidak bisa berdiam diri bahwasannya pertanyaan yang begitu singkat dalam survei ini tentang kesesuaian Pancasila dengan agama yang dianut, kita mungkin bisa bertanya-tanya apakah kemudian itu bisa mewakili sebuah perspektif bahwa kita tidak punya lagi persoalan ideologis di bangsa ini," paparnya dalam kesempatan yang sama.

Kalau hanya berkata bahwa ajaran-ajaran Pancasila sesuai dengan Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya, ia mempertanyakan apakah tidak ada persoalan lagi persoalan-persoalan di masa-masa awal berdirinya bangsa ini. Misalnya ide atau diskusi mengenai negara berbasis agama.

"Sebagai sebuah perspektif, kita sudah tidak menghadapi persoalan ini. Apalagi ditambah dengan maraknya proyek moderasi beragama yang salah satu prinsipnya adalah kesetiaan tertinggi kepada negara. Paling tidak sudah menunjukkan bahwa persoalan ini memang selesai di permukaan," kata Farid.

"Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwasannya selalu saja ada tantangan sendiri di lapis-lapis tertentu bahwa persoalan ideologis ini belum selesai. Masih banyak diskusi-diskusi underground yang sekali lagi ingin menampilkan nostalgia-nostalgia masa lalu terkait dengan pendirian negara Islam misalnya di Indonesia," imbuhnya.

Hal itu, katanya, menjadi aspek kualitatif yang sedikit tertinggal dari survei ini. "Tetap perlu dieksaminasi bahwasannya pertanyaan-pertanyaan tadi yang dihadapkan kepada para responden itu kemudian tidak memberikan jaminan 100% bahwa persoalan ideologis ini sudah selesai," pungkasnya. (Ifa)

Images

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |