Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik

5 hours ago 1
Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik (MI/Seno)

SALAH satu tujuan utama dari kegiatan pendaftaran tanah ialah menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi setiap orang atau badan hukum. Dengan pemberian sertifikat tanah, penting bagi pemegang hak atas tanah agar dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu dan bebas dari segala gugatan pihak lain.

Sementara itu, dalam peralihan hak, bagi calon pembeli atau kreditur mendapat kepastian hukum dan keterbukaan informasi bahwa tanah tersebut terbebas dari klaim hak pihak lain. Keterbukaan informasi tersebut dapat dilihat melalui ketersediaan data fisik dan data yuridis yang disajikan di kantor pertanahan yang berlaku terbuka bagi umum dengan keterangan diberikan dalam bentuk surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT).

Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran tanah di atas antara lain ialah kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak (subjek hak). Kepastian hukum mengenai lokasi, batas, serta luas suatu bidang tanah hak (objek hak), dan kepastian hukum mengenai haknya.

Selama ini, informasi mengenai subjek, objek, riwayat peralihan hak atas tanah, dan peta lokasi tanah sebagaimana yang disebut di atas, tercantum di dalam buku sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Buku sertifikat tanah inilah yang menjadi alat bukti yang sah di muka hukum bahwa seseorang atau badan hukum sebagai pemilik hak atas tanah.

TRANSISI SERTIFIKAT MANUAL KE ELEKTRONIK

Sudah menjadi persoalan umum bahwa sertifikat tanah dalam bentuk fisik menimbulkan sengketa atau konflik pertanahan. Terlebih lagi ketika sertifikat tersebut hilang, beralih hak secara ilegal, pemalsuan, atau tumpang tindih sertifikat yang mana kejadian-kejadian tersebut sering kali menyulitkan pengadilan dalam pembuktian siapa pemegang hak yang sah.

Belum lagi jalannya perkara yang memakan waktu bertahun-tahun, semua ini membuat para pihak yang bersengketa menghabiskan biaya, waktu, dan energi yang tidak sedikit. Dengan demikian, sistem administrasi pertanahan di Indonesia masih mewariskan persoalan yang tidak pernah selesai, baik dulu, kini, maupun masa mendatang.

Oleh karena itu, salah satu jalan keluar yang ditempuh pemerintah (Kementerian ATR/BPN) ialah mendorong digitalisasi layanan pertanahan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, kepastian hukum, dan modernisasi sistem administrasi pertanahan.

Merujuk kepada peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hal ini mempunyai korelasi dengan pendaftaran tanah yang bermakna pentingnya kepastian hukum hak atas tanah. Namun, dalam implementasinya, untuk sertifikat manual sering terjadi tumpang tindih data, pemalsuan, dan kerusakan fisik.

Oleh karena itu, dengan kemajuan teknologi informasi, mendorong digitalisasi layanan pendaftaran tanah dalam transformasi digital dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan pertanahan, menjamin keamanan, dan keaslian data hak atas tanah. Juga, mempermudah transaksi dan pencatatan hukum atas tanah serta mengurangi risiko kehilangan atau pemalsuan sertifikat.

Namun, kendala utama pemerintah dalam membangun sistem sertifikasi tanah elektronik ialah masalah kesiapan infrastruktur digital di seluruh wilayah Indonesia dan bagaimana perlindungan dan keamanan data pribadi maupun dokumen negara.

Di sisi lain, belum terbentuk kepercayaan masyarakat, terutama di perdesaan, terhadap sertifikat elektronik. Meskipun masyarakat perdesaan sudah melek digital, dalam hal sertifikat tanah, kepemilikan hak atas tanah harus ditunjukkan dengan sertifikat fisik.

Karena itu, harus diadakan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat dan juga integrasi dengan sistem yang lain seperti perpajakan, perbankan, dan perizinan. Dengan demikian, harus dilakukan penguasaan keamanan siber dan server nasional, pelatihan sumber daya manusia untuk literasi publik, regulasi yang adaptif, penguatan infrastruktur digital.

TANTANGAN KE DEPAN

Salah satu pertanyaan publik terkait dengan sertifikat elektronik, di luar dari kesiapan infrastruktur digital dan keamanan data, ialah masalah pembuktian hak jika sengketa tanah masuk ranah pengadilan. Sejauh ini payung hukum alat bukti elektronik di pengadilan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik, sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Namun, UU ITE berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2016 diklasifikasi sebagai pembuktian dalam hukum pidana, bukan perdata. Demikian juga, SEMA Nomor 14 Tahun 2010 tidak ditujukan mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan, tetapi sebagai dokumen elektronik berupa putusan atau dakwaan yang dimasukkan ke dalam perangkat penyimpan dokumen (soft file).

Dalam praktik peradilan perdata, sampai saat ini belum tersedia hukum acara terkait dengan perlindungan hukum dan pembuktian pemilik sertifikat tanah elektronik, termasuk belum ada pengaturan rinci tentang ganti rugi atas perlindungan pemilik sertifikat, jika sistem elektronik mengalami gangguan sehingga kehilangan data.

Selain itu, bagaimana dengan sengketa sertifikat elektronik terkait dengan keabsahan sertifikat elektronik di pengadilan. Penanganan kasus pemalsuan atau peretasan data (manipulasi digital) belum spesifik di atur dalam perlindungan hukum dan sanksinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan pembentuk undang-undang mulai mempersiapkan hukum acaranya secara terperinci dan pengawasan ekternal terkait dan bagaimana sistem ini diaudit secara berkala untuk memastikan keabsahan data, serta perlu pembentukan peraturan (SOP) yang mencakup asas-asas transparansi, perlindungan hukum, dan kepastian hukum bagi pemegang hak, serta melakukan pengawasan independen terhadap sistim digitalisasi, yang menyediakan keamanan dan enkripsi data melalui teknologi blockchain untuk transparansi dan pencatatan yang tidak bisa diubah.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |