
PRESIDEN Prancis Emmanuel Macron menyerukan agar negara-negara Eropa mengurangi ketergantungan ganda terhadap Amerika Serikat dan Tiongkok, dalam pidato penting yang menandai dimulainya kunjungan kenegaraan bersejarah ke Inggris.
Berbicara di hadapan ratusan anggota parlemen dan tamu undangan di Westminster, Macron mengusulkan visi “Eropa yang lebih luas” di luar batas Uni Eropa—dengan Prancis dan Inggris sebagai poros utamanya. Ia hanya singkat menyinggung kekecewaannya atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa, namun lebih banyak menekankan pentingnya kemitraan baru pasca-Brexit.
“Kita harus mengurangi risiko ketergantungan berlebih terhadap AS dan China. Ketergantungan ini akan menentukan masa depan kita dan anak-anak kita,” tegas Macron.
Menurutnya, subsidi besar-besaran dari Tionkok merusak rantai pasok global dan perdagangan yang adil. Sementara AS dinilai meninggalkan kepatuhan terhadap prinsip perdagangan internasional yang selama ini dijunjung bersama.
Arah Baru Kemitraan Prancis-Inggris
Kunjungan tiga hari ini adalah yang pertama dilakukan presiden Prancis sejak Nicolas Sarkozy pada 2008. Kunjungan pertama oleh pemimpin Eropa ke Inggris sejak Brexit. Macron disambut secara resmi Raja Charles III di Kastel Windsor, termasuk dengan iring-iringan kereta kuda dan upacara kehormatan militer.
Dalam pidatonya di Galeri Kerajaan Parlemen, Macron tak menyebut konflik sejarah seperti Pertempuran Trafalgar atau Waterloo, namun menggarisbawahi pentingnya semangat Entente Cordiale yang telah menyatukan kedua negara sejak 1904.
Ia juga mengumumkan permadani bersejarah Bayeux akan dipinjamkan kembali ke Inggris untuk pertama kalinya dalam lebih dari 900 tahun—sebuah simbol diplomasi budaya yang diperkuat.
Kolaborasi di Bidang Migrasi dan Mobilitas Pemuda
Macron menyampaikan komitmen untuk memperkuat kerja sama penanganan migrasi dengan Inggris. Meskipun belum ada rincian konkret mengenai kesepakatan baru soal pengembalian pencari suaka, kedua pihak dikabarkan tengah menyusun skema “satu masuk, satu keluar.”
Ia juga menyerukan inisiatif youth mobility scheme—yang memungkinkan pelajar, peneliti, dan seniman muda saling bertukar pengalaman antara Inggris dan negara-negara Eropa. Seruan ini disambut tepuk tangan meriah dari hadirin, termasuk para menteri Partai Buruh.
“Kita tidak boleh membiarkan generasi muda tumbuh sebagai orang asing satu sama lain,” katanya. “Mari beri mereka peluang yang sama seperti yang pernah kita miliki.”
Kritik terhadap Dominasi Teknologi Asing
Dalam pidatonya, Macron juga menyinggung risiko yang dihadapi Eropa dari sisi teknologi, terutama dominasi algoritma raksasa teknologi AS dan disinformasi yang berasal dari luar, seperti yang dilakukan Rusia. Ia menilai, kecanduan terhadap media sosial dan manipulasi informasi menjadi ancaman bagi demokrasi.
Namun, pendekatan Inggris berbeda. Sementara UE dan Prancis telah memperketat regulasi terhadap media sosial, Inggris justru memilih untuk melonggarkan pajak bagi perusahaan teknologi AS demi insentif dagang.
Dukungan untuk Ukraina dan Aliansi Global
Dalam jamuan makan malam kenegaraan di Windsor, Raja Charles menekankan pentingnya aliansi Inggris-Prancis dalam menghadapi tantangan global seperti terorisme, kejahatan lintas negara, dan migrasi ilegal. Ia juga memuji kerja sama militer kedua negara dalam mendukung Ukraina.
“Kita bersama-sama memimpin koalisi demi kebebasan dan menentang penindasan – demi nilai-nilai yang kita bagi,” ujar sang raja.
Kunjungan ini tidak hanya menandai babak baru hubungan bilateral, tetapi juga menyampaikan pesan tegas: bahwa Eropa harus berdiri lebih mandiri di tengah kompetisi geopolitik global yang semakin sengit. (The Guardian/Z-2)