Logam Langka Jadi Senjata Geopolitik Tiongkok: AS Terdesak dalam Perang Teknologi

3 days ago 9
 AS Terdesak dalam Perang Teknologi Pernyataan Xi Jinping pada 2019, logam tanah jarang adalah "sumber daya strategis vital". Kini terbukti saat Tiongkok memperketat ekspor mineral langka di tengah  perang dagang dengan Amerika.(freepik)

TAHUN 2019, pemimpin Tiongkok Xi Jinping sempat mengunjungi sebuah pabrik sederhana di kota industri Ganzhou, tenggara Tiongkok. Tak ada yang mencolok di sana—hanya deretan balok logam abu-abu. Di balik kesederhanaan itu, Xi menyampaikan pesan strategis: "Logam tanah jarang adalah sumber daya strategis yang vital."

Enam tahun berselang, ucapan itu terasa makin relevan. Ketika ketegangan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat kembali memanas, Beijing memainkan kartu as-nya: mengontrol ketat ekspor mineral langka yang sangat dibutuhkan industri teknologi modern. Ini bukan sekadar aksi balasan terhadap tarif baru dari pemerintahan Donald Trump, tapi juga sinyal Tiongkok tahu persis di mana titik lemah lawannya.

Logam tanah jarang—sekelompok 17 elemen kimia unik—adalah bahan baku penting untuk berbagai produk: dari smartphone dan mobil listrik, hingga jet tempur dan kapal selam nuklir. Meski bisa ditemukan di banyak negara, termasuk AS, proses penambangan dan pengolahannya sangat kompleks dan mahal. Di sinilah Tiongkok unggul. Mereka menguasai 61% produksi global, tapi yang lebih signifikan: 92% pengolahan dunia ada di tangan mereka.

Ketika Tiongkok mengumumkan aturan baru yang mewajibkan izin ekspor untuk tujuh jenis logam tanah jarang dan produk turunannya (seperti magnet), banyak perusahaan Amerika dan Eropa kelabakan. Pengiriman langsung tertahan. Tak sedikit yang mengaku tak siap, karena selama ini terlalu bergantung pada pasokan dari Tiongkok.

Bagi Beijing, ini bukan pertama kalinya logam langka jadi alat tawar. Tahun 2010, mereka sempat menghentikan ekspor ke Jepang karena konflik wilayah. Tahun lalu, mereka juga membatasi ekspor teknologi pemrosesan logam langka. Kali ini, targetnya lebih luas dan efeknya terasa lebih cepat.

Di sisi lain, Amerika mulai bergerak. Sejak pemerintahan Trump, AS berusaha membangun kembali rantai pasok logam tanah jarang dalam negeri. Beberapa perusahaan, seperti USA Rare Earth dan Phoenix Tailings, sudah memulai langkah besar: membangun pabrik, memperluas produksi, dan mencari sumber bahan baku dari sekutu seperti Kanada dan Australia. Namun, untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri yang sangat besar, usaha ini masih butuh waktu bertahun-tahun.

Tiongkok memang sudah melangkah lebih dulu—sejak 1950-an mereka mulai menambang logam langka, dan sejak 1990-an mereka makin serius menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik. Bahkan Deng Xiaoping, arsitek reformasi ekonomi Tiongkok, pernah berkata, “Jika Timur Tengah punya minyak, maka Tiongkok punya logam langka.”

Kini, Amerika tak punya pilihan selain mengejar ketertinggalan. Bagi sebagian pihak, ini adalah momen penting: peluang untuk membangun industri strategis yang sebelumnya diabaikan. Tapi tantangannya tak kecil. Menghidupkan kembali industri logam langka butuh modal besar, riset mendalam, dan dukungan penuh dari pemerintah.

Di era persaingan teknologi global, logam langka bukan sekadar bahan mentah. Ia adalah senjata baru. Tiongkok baru saja menarik pelatuknya. (CNN/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |