Lestari Moerdijat: Pembenahan dalam Implementasi UU TPKS harus segera Dilakukan

1 day ago 9
 Pembenahan dalam Implementasi UU TPKS harus segera Dilakukan Tangkapan layar Diskusi Denpasar 12.(Dok. Youtube Denpasar 12)

PEMBENAHAN mutlak diperlukan di sejumlah sektor untuk mendorong efektivitas penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam memberikan perlindungan menyeluruh terhadap korban kekerasan seksual.

"Meski UU TPKS telah disahkan, respons terhadap perubahan sistem dan budaya hukum itu masih berjalan lambat, sehingga upaya negara memberi perlindungan korban secara menyeluruh belum sepenuhnya terwujud," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tantangan Penegakan Hukum UU TPKS yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (11/6).

Menurut Lestari, sejumlah tantangan ditemukan dalam implementasi UU TPKS antara lain kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang substansi UU TPKS, termasuk urgensi perlindungan korban.

Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, semua elemen terkait substansi pelaksanaan UU TPKS, baik pemerintah, swasta, masyarakat dan individu, harus saling mendukung untuk mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara.

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu menegaskan, untuk merealisasikan amanat UU TPKS diperlukan komitmen kuat dari negara.

Komitmen tersebut bisa terwujud, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, melalui peningkatan kapasitas semua elemen, terutama aparat penegak hukum, agar proses penanganan tindak kekerasan seksual mengutamakan perspektif korban, mengedepankan HAM dan martabat manusia.

Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Rejeki Marpaung mengungkapkan, pasca-UU TPKS disahkan, pelaporan kasus kekerasan seksual masih cukup tinggi.

Pada 2022, misalnya LBH Apik Jakarta menerima laporan tindak kekerasan seksual sebanyak 570 kasus, pada 2023 tercatat 497 kasus, dan pada 2024 tercatat 303 kasus. Tuani mengungkapkan, pada 2024, dari 303 laporan kasus kekerasan seksual, sebanyak 30 kasus didampingi LBH Apik untuk ditindaklanjuti.

Namun, ungkap dia, hanya lima kasus yang bisa sampai maju ke pengadilan, karena menghadapi banyak tantangan di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Tantangan tersebut, ujar Tuani, antara lain masih banyak aparat penegak hukum tidak menggunakan UU TPKS dan memilih menggunakan UU ITE dan UU Pornografi, dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Selain itu, menurut Tuani, tantangan juga dihadapi dalam tahapan pelaporan dan pemeriksaan dengan ruangan yang tidak nyaman, serta tidak ada ruang khusus dalam proses pemeriksaan korban.

Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan

Kuasa Hukum korban Kekerasan Seksual Universitas Pancasila, Amanda Manthovani berpendapat, penanganan tindak kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan belum berjalan dengan baik.

Adanya relasi kuasa dalam kasus yang ditanganinya, ujar Amanda, menambah sulit terwujudnya keadilan dalam proses penangan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Kehadiran Satgas TPKS di kampus, jelas Amanda, juga tidak bisa membantu terwujudnya keadilan, karena yang diadukan dalam kasus kekerasan seksual adalah pimpinan pada institusi tersebut.

Amanda berharap, kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, agar tidak terjadi lagi kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan.

Amanda mendesak pemerintah agar segera melengkapi aturan turunan dari UU TPKS agar penanganan tindak kekerasan seksual dapat berjalan dengan perspektif perlindungan korban dan penegakan hak azasi manusia. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |