
THE principal’s role is not a career promotion from teaching, but a fundamentally different responsibility requiring leadership of the whole system (Michael Fullan, 2014).
Pendidikan Indonesia tengah menghadapi kekosongan yang mengkhawatirkan. Bukan hanya kekosongan mutu atau nilai, melainkan juga kekosongan yang nyata: lebih dari 50 ribu sekolah negeri tidak memiliki kepala sekolah definitif. Ini bukan semata urusan administratif, melainkan cerminan rapuhnya tata kelola pendidikan di tingkat paling dasar.
Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) per Juni 2025 mencatat bahwa dari 184.954 sekolah negeri, hanya 144.882 yang memiliki kepala sekolah aktif. Sebanyak 40.072 sekolah tidak memiliki kepala sekolah sama sekali, dan 26.909 lainnya hanya dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). Secara keseluruhan, sekitar 36% sekolah negeri berjalan tanpa pemimpin formal.
Yang lebih mencemaskan, kekosongan ini tidak hanya terjadi di daerah terpencil atau tertinggal. Jawa Barat (7.490 sekolah), Jawa Tengah (6.881 sekolah), dan Jawa Timur (6.513 sekolah)--tiga provinsi dengan ekosistem pendidikan terbesar di Indonesia--menempati urutan teratas dalam jumlah sekolah tanpa kepala. Artinya, krisis ini menjalar dari pinggiran hingga pusat-pusat populasi pendidikan nasional.
POLITIK LOKAL DAN FRAGMENTASI TATA KELOLA
Masalah kekurangan kepala sekolah berakar pada sistem desentralisasi pendidikan. Sejak diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 23 Tahun 2014, kewenangan pengangkatan kepala sekolah berada sepenuhnya di tangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat tak lagi memiliki kendali langsung, bahkan saat terjadi kekosongan besar.
Akibatnya, pengambilan keputusan menjadi terfragmentasi. Sekolah yang membutuhkan pemimpin harus menunggu proses administratif di daerah yang sering lambat dan tidak selalu mengutamakan mutu. Situasi ini diperparah oleh tarik-menarik politik lokal. Jelang atau setelah pilkada, jabatan kepala sekolah kerap menjadi alat kompromi kekuasaan. Penunjukan sering kali didasari faktor kedekatan politik, bukan kompetensi. Jabatan plt pun dibiarkan menggantung karena lebih mudah dikendalikan.
Dampaknya jelas: sekolah kekurangan pemimpin yang sah dan banyak guru berkualifikasi tidak mendapat penugasan hanya karena tak punya akses ke lingkaran kekuasaan. Padahal, kepala sekolah adalah penggerak utama mutu--pemimpin pembelajaran, manajer kurikulum, dan penjaga arah sekolah. Ketika posisi ini kosong atau tidak definitif, banyak aspek pendidikan ikut tersendat, dan kesenjangan antarwilayah makin melebar.
MENUJU PEMULIHAN
Untuk memulihkan kepemimpinan sekolah dari kekosongan yang membelenggu, diperlukan langkah-langkah konkret yang tak hanya bersifat administratif, tetapi juga menyentuh akar persoalan tata kelola dan sistem karier pendidikan.
Langkah pertama adalah membuka ruang intervensi terbatas oleh pemerintah pusat, khususnya dalam kondisi darurat. Ketika sebuah sekolah dibiarkan kosong tanpa kepala sekolah definitif selama lebih dari satu tahun, pemerintah pusat perlu diberi kewenangan untuk melakukan penugasan sementara atau mendorong audit kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Ini bukan pelanggaran otonomi daerah, melainkan pelaksanaan tanggung jawab negara dalam menjamin hak dasar warga atas pendidikan bermutu.
Langkah kedua adalah membangun sistem distribusi kepala sekolah secara nasional, lintas wilayah, dan berbasis kualifikasi. Guru yang telah lulus pelatihan harus bisa ditugaskan ke sekolah-sekolah yang kekurangan, tanpa terhambat birokrasi daerah yang lambat. Mekanisme ini dapat dikelola kementerian melalui pemetaan kebutuhan dan data terintegrasi.
Namun, muncul dilema struktural. Karena kepala sekolah berstatus ASN daerah, kementerian tidak memiliki kewenangan langsung atas mereka. Padahal, kementerian tetap diminta menjamin mutu pendidikan nasional. Akibatnya, tanggung jawab menjadi tumpang tindih: daerah mengelola kepala sekolah, tetapi tidak selalu selaras dengan arah kebijakan pusat.
Untuk itu, perlu penataan ulang peran yang lebih proporsional. Daerah tetap berwenang dalam urusan administratif, tapi kementerian harus diberi mandat lebih kuat dalam pembinaan, pemetaan, dan penugasan kepala sekolah. Ini sejalan dengan semangat desentralisasi yang bertanggungjawab dalam UU No 23/2014 dan regulasi turunannya.
Selain itu, langkah ketiga yang tak kalah penting adalah menyusun skema insentif dan disinsentif dalam evaluasi kinerja pemerintah daerah dengan indikator pengisian jabatan kepala sekolah sebagai salah satu tolok ukur utama. Daerah yang aktif menyelesaikan kekosongan layak mendapat dukungan tambahan, sementara daerah yang lalai perlu dikenai pembinaan khusus atau pengurangan insentif hingga perbaikannya terbukti.
Tak kalah penting, langkah keempat yang perlu dipikirkan secara strategis adalah pemisahan jalur karier guru dan kepala sekolah. Selama ini, jabatan kepala sekolah dianggap sebagai 'puncak' karier guru. Padahal, kedua profesi ini menuntut kompetensi berbeda. Menurut Andy Hargreaves, Michael Fullan (2012) dalam Professional Capital Transforming Teaching in Every School, guru adalah pendidik yang tumbuh dalam jalur pedagogis, sementara kepala sekolah sejatinya adalah manajer pendidikan yang dituntut mengelola organisasi pembelajaran.
Di banyak negara maju, kepala sekolah bukan kelanjutan dari profesi mengajar, melainkan jabatan profesional yang dipersiapkan secara terpisah. Jika sistem ini bisa dirancang dengan matang, guru tak perlu merasa gagal bila tak menjadi kepala sekolah dan kepala sekolah tidak lagi diisi hanya oleh guru senior, tetapi oleh mereka yang memang memiliki kapasitas kepemimpinan dan manajerial (Michael Fullan, 2014).
Reformasi sistem karier ini memang tidak mudah karena menyangkut struktur ASN dan budaya birokrasi yang sudah lama mengakar. Namun, dalam jangka panjang, pemisahan ini akan memperkuat profesionalisme kedua jalur dan menjamin mutu kepemimpinan sekolah lebih stabil dan kredibel.
Krisis kekurangan kepala sekolah bukan semata-mata soal kekosongan jabatan, melainkan soal arah dan keberanian dalam menata kembali sistem pendidikan nasional. Kita bisa memiliki kurikulum terbaik, teknologi paling canggih, atau fasilitas modern--tetapi tanpa pemimpin yang menggerakkan dari dalam, semua akan berjalan tanpa nyawa.
Jika pendidikan ialah investasi masa depan, kepala sekolah ialah pengelolanya. Ketika pengelola itu hilang, seluruh bangunan pendidikan akan rapuh. Negara tak boleh abai. Sudah saatnya sekolah-sekolah kita kembali dipimpin oleh mereka yang sah, kompeten, dan layak dipercaya.