Konflik India–Pakistan dan Uji Stres Teknologi Keamanan Global

5 hours ago 4
Konflik India–Pakistan dan Uji Stres Teknologi Keamanan Global (Dok. Pribadi)

KONFLIK terbaru antara India dan Pakistan yang meletus pada Mei 2025 bukan sekadar pertikaian dua negara bertetangga. Serangan bersenjata di Pahalgam, Kashmir yang dikuasai India, menewaskan puluhan orang dan memicu balasan udara dari India ke sejumlah titik strategis di Pakistan, termasuk Bahawalpur dan Muzaffarabad. Dalam waktu singkat, rudal presisi diluncurkan, sistem pertahanan diaktifkan, dan jet tempur saling dijatuhkan.

Namun, yang terjadi bukan hanya eskalasi militer, melainkan pergeseran mendasar dalam watak konflik internasional. Serangan demi serangan memperlihatkan perang modern kini menjadi ajang uji coba teknologi keamanan generasi baru—bukan hanya soal kekuatan senjata, melainkan juga soal kecanggihan algoritma.

Pada 13 Mei, gencatan senjata diumumkan setelah operasi militer intensif yang disebut Bunyan Marsoos. Presiden AS Donald Trump mengeklaim peran mediasi dalam kesepakatan itu meski India menegaskan operasi hanya memasuki jeda. PM Narendra Modi menyatakan India tetap siaga terhadap potensi serangan lanjutan. Hingga pertengahan Mei, pembicaraan untuk memperpanjang gencatan senjata masih berlangsung tanpa hasil final.

PERANG YANG DIJALANKAN DATA DAN MESIN

Konflik itu menunjukkan transformasi konflik bersenjata dari duel konvensional menjadi laboratorium teknologi militer. Jika dulu perang ditentukan komando manusia, kini sebagian besar dijalankan mesin, data, dan kecerdasan buatan. Medan tempur telah bergeser ke domain digital dan siber—cepat, presisi, dan tak kasatmata.

India selama lima tahun terakhir melakukan modernisasi militer besar-besaran: mengakuisisi drone tempur, rudal berpemandu presisi, serta radar berbasis AI. Saat serangan dimulai awal Mei, sistem itu digunakan untuk menargetkan instalasi militer Pakistan dengan akurasi tinggi. Pakistan membalas dengan sistem antirudal dan drone otonom, serta mengeklaim berhasil menembak jatuh lima jet tempur India—termasuk tiga Rafale buatan Prancis, klaim yang tidak diakui New Delhi.

Kecepatan respons militer itu mencerminkan meningkatnya peran sistem otomatis dalam pengambilan keputusan. Ketika algoritma mulai menentukan kapan menyerang atau bertahan, ruang untuk pertimbangan politik dan etika semakin menyempit. Proses yang dulunya deliberatif kini dipangkas menjadi keputusan milidetik oleh sensor dan logika mesin.

Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) bahkan mencatat bahwa India kini mengoperasikan lebih dari 200 drone otonom, sementara Pakistan tengah mengembangkan formasi drone swarm untuk pertahanan perbatasan.

MEDAN TEMPUR YANG TAK TERLIHAT

Namun, konflik itu tidak hanya berlangsung di udara. Medan paling aktif justru berada di ruang digital. Sejak hari pertama eskalasi, media sosial dibanjiri informasi palsu, tagar nasionalis, dan video manipulatif. Banyak di antaranya ialah rekaman lama yang diedit ulang dan disebarkan melalui jaringan bot secara sistematis.

Temuan dari Digital Forensic Research Lab menunjukkan sebagian besar akun yang memicu narasi itu bukan berasal dari individu, melainkan dari infrastruktur disinformasi yang didukung negara. Di India, kampanye digital digunakan untuk membangun citra pemerintah sebagai pelindung bangsa. Di Pakistan, narasi perlawanan terhadap agresi India disebarluaskan untuk membentuk konsensus publik. Perang informasi telah menjadi alat legitimasi domestik, bukan sekadar alat propaganda eksternal.

Dalam waktu 72 jam pertama, sistem publik Pakistan seperti listrik dan komunikasi terganggu oleh serangan siber—tanpa jejak jelas, tetapi diduga kuat berasal dari unit siber India. Sebagai respons, situs-situs pemerintah India diretas dan dipenuhi pesan politis dari aktor siber pro-Pakistan. Serangan itu menunjukkan bahwa konflik digital bisa melumpuhkan tanpa letusan, menyusup tanpa terlihat, dan merusak tanpa harus menduduki wilayah.

TANTANGAN GLOBAL DAN PERINGATAN BAGI INDONESIA

Konflik itu ialah bukti nyata bahwa teknologi tidak hanya mempercepat perang, tapi juga merusak proses politik dan mempersempit ruang diplomasi. Wacana tentang AI dan senjata otonom yang selama ini bersifat akademik kini menunjukkan dampak konkret dan destruktif di lapangan.

Sayangnya, dunia belum siap. Kerangka regulasi internasional tertinggal jauh dari kenyataan teknologi. Tidak ada protokol global yang mengatur penggunaan AI dalam peperangan. Konvensi tentang senjata otonom masih mandek dalam perdebatan, dan PBB belum memiliki mekanisme operasional untuk merespons konflik siber antarnegara. Hingga 2024, lebih dari 70 negara telah menyatakan kekhawatiran atas penggunaan senjata otonom, tetapi belum satu pun konsensus internasional tercapai soal larangan atau pembatasan.

Bagi Indonesia, ini bukan hanya konflik jauh di Asia Selatan—ini cermin. Ketergantungan kita pada teknologi asing di sektor pertahanan, energi, dan komunikasi menjadikan negara ini rawan terhadap efek limpahan konflik teknologi. Kita perlu segera membangun ketahanan digital, memperkuat perlindungan data strategis, dan mengembangkan kapasitas pertahanan nasional yang berbasis teknologi lokal.

Lebih dari itu, Indonesia punya peluang untuk tidak sekadar bereaksi, tetapi juga memimpin. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota tetap ASEAN Regional Forum, Indonesia dapat mengusulkan pembentukan working group di tingkat ASEAN Plus atau G-20 untuk menyusun prinsip etika penggunaan AI dalam militer. Langkah itu bukan sekadar simbolis, melainkan strategis—mengisi kekosongan norma global yang kian mendesak.

KONFLIK MASA DEPAN

Apa yang terjadi antara India dan Pakistan bukanlah pengecualian, melainkan pertanda tentang masa depan konflik global. Perang tidak lagi diumumkan. Ia hadir lewat manipulasi informasi, sabotase digital, dan keputusan otomatis yang tak melibatkan manusia. Algoritma menggantikan peluru, dan persepsi publik menjadi medan tempur.

Jika dunia terus menunda membangun etika dan regulasi untuk teknologi konflik, pertempuran masa depan akan berlangsung diam-diam, cepat, dan tak terlihat—hingga kita kehilangan kendali. Pada saat itu, dunia mungkin tidak hanya kalah dalam perang, tetapi juga kehilangan definisi paling dasar dari apa yang dulu disebut 'keamanan'.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |