
WAKIL Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengecualian bagi pemerintah, korporasi dan profesi dan jabatan dalam melaporkan kasus pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dave menilai bahwa dirinya menghargai putusan MK yang bersifat final and binding. Selain itu pihaknya juga akan menyesuaikan putusan MK tersebut dalam UU ITE terbaru.
“Pasal itu sudah diputuskan MK, itu kan sudah final and binding. Jadi ya sudah kita ikuti aja, tinggal nanti kita sesuaikan di urunan peraturan daripada UU tersebut,” kata Dave dalam keterangannya pada Kamis (1/5).
Kendati demikian, Dave menyampaikan bahwa sampai saat ini, belum ada rencana dari Komisi I DPR untuk memperbaharui atau melakukan revisi UU ITE usai putusan MK.
Kendati demikian, Dave menjelaskan bahwa hasil putusan MK tersebut yang mengubah pasal Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE, dapat disesuaikan melalui aturan teknis terhadap UU tersebut.
“Tidak (merevisi UU). Belum ada masuk agenda untuk revisi. Itu kan bisa langsung berlaku. Paling turunannya saja yang harus disesuaikan,” jelasnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi putusan MK tersebut. Menurutnya, lembaga pemerintah, korporasi, dan kelompok masyarakat tidak seharusnya dapat melaporkan kasus pencemaran nama baik sebab dapat berujung pada kriminalisasi.
“Jik keluhan atau apa pun terhadap sebuah lembaga pada dasarnya merupakan kritik agar pelayanan lembaga, terutama lembaga negara, lebih baik melayani masyarakatnya yang memang merupakan tugasnya,” katanya.
Selain itu, dia juga menanggapi soal perubahan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) yang mengatur tentang berita bohong alias hoaks yang berada di ruang digital.
Dalam putusannya, MK menyatakan pasal penyebaran berita bohong tersebut khususnya penafsiran diksi “kerusuhan” hanya bisa diartikan jika terjadi secara fisik, bukan terjadi di ruang digital atau siber.
Menurut Fickar, jika kerusuhan hanya terjadi di ruang digital saja, hal itu tidak bisa dijerat dengan pasal tersebut.
"Pada dasarnya kerusuhan di ruang siber adalah proses diskusi dalam kerangka pencarian kebenaran, terutama dengan kelembagaan. Jadi memang tidak tepat kerusuhan di ruang publik siber itu dipidanakan, karena itu merupakan proses pendewasaan masyarakat,” imbuhnya.
Sehingga lanjut Fickar, pasal tersebut merupakan delik materiil yang dampaknya harus terjadi secara fisik dan dapat dibuktikan.
Sebelumnya, MK mengabulkan dua gugatan terkait UU ITE lewat putusan 105/PUU-XXII/2024 dan 115/PUU-XXII/2024. Lewat dua putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pasal tentang “menyerang kehormatan” di UU ITE hanya dapat digunakan oleh individu atau perseorangan untuk mempidanakan pihak-pihak yang dianggap menyerang kehormatannya.
Dengan demikian, lembaga pemerintahan, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan, tidak dapat menggunakan pasal tersebut.
Selain itu, MK juga mempersempit penafsiran dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) terkait dengan kata “kerusuhan”. MK menegaskan diksi “kerusuhan” itu hanya bisa ditafsirkan jika terjadi di ruang fisik alias nyata, bukan di ruang digital macam media sosial.
Semenatra dalam pertimbangannya, MK menyatakan tindakan menyebarkan berita bohong menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat. (H-3)