
DALAM semangat memperingati Hari Anak Internasional setiap 1 Juni dan menyambut Hari Anak Nasional (23 Juli), upaya memperkuat perlindungan serta kesehatan mental anak-anak Indonesia kembali menjadi sorotan. Salah satu inisiatif yang mencuri perhatian tahun ini adalah Kids Biennale Indonesia 2025, ajang seni dua tahunan berskala nasional dan internasional yang memberi ruang bagi anak-anak untuk bersuara melalui karya visual dan pertunjukan seni.
Digelar pada 3-31 Juli 2025 di Galeri Nasional Indonesia, Kids Biennale tengah memasuki tahap kurasi akhir. Panitia telah menerima lebih dari 1.000 karya seni dari anak-anak usia 6 hingga 17 tahun, termasuk peserta dengan kebutuhan khusus hingga usia 22 tahun. Ratusan karya terbaik akan dipamerkan dalam bentuk lukisan, instalasi, fotografi, film pendek, hingga pertunjukan wayang cilik.
Mengusung tema “Tumbuh Tanpa Takut”, Kids Biennale mengajak publik untuk memahami dunia batin anak-anak melalui bahasa yang mereka kuasai: seni. Tema ini sekaligus menjadi refleksi atas berbagai tantangan yang dihadapi anak-anak di tengah dunia yang kerap tidak ramah pada suara-suara kecil mereka.
“Saat anak-anak menggambar langit gelap atau matahari yang muram, itu bukan sekadar gambar. Itu adalah cerita yang tidak selalu bisa mereka ucapkan. Melalui seni, anak-anak berbicara, dan tugas kita adalah mendengarkan,” ujar Prof. Maila Dinia Husni Rahiem, Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga anggota Board Advisor Kids Biennale Indonesia dalam keterangan yang diterima, Kamis (19/6)..
Maila menekankan bahwa seni memiliki kekuatan dalam membangun ketahanan psikologis anak. “Seni memberikan anak ruang untuk mengenali emosi, memahami diri, dan memulihkan luka batin. Ini adalah bagian dari pendidikan karakter yang sering kali luput dari perhatian kita,” ujarnya.
Sebagai anggota tim penasihat ahli Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, serta satu dari sedikit ilmuwan Indonesia yang masuk dalam daftar Top 2% Scientist Worldwide versi Stanford University dan Elsevier, Maila menilai pentingnya mendekatkan pendidikan dengan pendekatan interdisipliner, termasuk seni, psikologi, dan perlindungan anak.
“Kesehatan mental tidak selalu butuh ruang terapi formal. Terkadang, ia hanya perlu kanvas, warna, dan waktu yang cukup untuk didengar,” tuturnya.
Ketua Yayasan Kids Biennale Indonesia, Gie Sanjaya, mengatakan bahwa pameran tahun ini dirancang lebih imersif dan interaktif. “Kami ingin Galeri Nasional menjadi ruang yang ramah dan inklusif. Tidak kaku. Semua orang bisa datang, menikmati karya anak-anak, dan belajar dari mereka,” katanya.
Kids Biennale Indonesia tidak hanya menampilkan karya anak-anak, tetapi juga menyusun program edukatif dan dialog antargenerasi, mempertemukan anak-anak, seniman, guru, orang tua, dan pembuat kebijakan dalam satu ruang yang sama. Harapannya, anak-anak dapat tumbuh dalam ekosistem yang memberi ruang aman untuk berekspresi dan membangun masa depan yang sehat secara mental dan sosial.
“Anak-anak tidak hanya perlu dilindungi dari bahaya, tetapi juga perlu diberdayakan untuk tumbuh dengan percaya diri dan utuh. Seni membuka jalan ke arah itu,” kata Maila.
Kids Biennale 2025 menjadi ajakan terbuka bagi publik untuk hadir, menyimak, dan merayakan keberanian anak-anak Indonesia dalam menyampaikan isi hati mereka. Bukan hanya perayaan seni, tetapi juga pengingat bahwa dunia yang layak bagi anak adalah dunia yang benar-benar mendengarkan mereka. (P-4)