Ketahanan Ekonomi Indonesia Mulai Tergerus

14 hours ago 4
Ketahanan Ekonomi Indonesia Mulai Tergerus Ilustrasi, IHSG melemah dan pelemahan ekonomi.(Dok. MI/Susanto)

KETAHANAN ekonomi Indonesia dinilai mulai tergerus. Fundamen perekonomian yang selama ini dipandang cukup baik dan berdaya tahan kini menunjukkan gejala kerapuhan, terutama karena dampak dari kondisi ekonomi global yang dalam beberapa waktu terakhir bergerak cukup dinamis.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri dalam taklimat media bertajuk Mengejar Target 8% di Tengah Melambatnya Perekonomian: Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo yang disaksikan secara daring, Rabu (7/5).

"Dulu kita disebut komodo ekonomi, karena kulitnya tebal seperti komodo dragon. Tapi apakah sekarang kita masih bisa jadi komodo ekonomi? Mudah-mudahan tidak jadi cicak ekonomi," ujarnya.

Yose menuturkan, selama ini perekonomian domestik ditopang oleh empat pilar utama, yaitu sektor riil, iklim usaha, kebijakan fiskal, dan kebijakan moneter. Biasanya, ketika pemerintah mengeklaim fundamen perekonomian Indonesia cukup baik, permasalahan hanya ada di dua pilar, yaitu di sektor riil dan iklim usaha.

Sektor riil Indonesia dinilai belum efisien dan berbiaya mahal. Demikian pula dengan iklim usaha yang belum memadai dan mendukung percepatan pertumbuhan bisnis di dalam negeri. Hanya, kali ini, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter juga dinilai bermasalah.

Baik kebijakan fiskal dan moneter, imbuh Yose, tampak menunjukkan dan mendorong gejala rentan bagi perekonomian dalam negeri. "Makroekonomi kita dulu dianggap kuat karena fiskal disiplin, prinsip moneter yang baik, dan makroprudensial yang ketat. Tapi sekarang, fondasi ini mulai digerogoti. Independensi bank sentral mulai dipertanyakan kondisi fiskal mulai melemah," jelasnya.

Salah satu sinyal bahaya ialah derasnya arus modal keluar dari pasar modal Indonesia. Per April 2025, aliran modal keluar dari pasar saham mencapai Rp50 triliun. Jumlah itu dinilai cukup besar kendati terdapat arus modal masuk ke pasar obligasi. Namun Yose menilai hal itu belum bisa menjaga ketahanan nilai tukar rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah juga disebut relatif mengkhawatirkan. Itu karena indeks dolar Amerika Serikat (AS) tengah dalam tren pelemahan sejak Januari 2025, namun alih-alih menguat, rupiah justru cenderung tertekuk di hadapan mata uang Negeri Paman Sam.

"Dollar index melemah sejak Januari, tapi rupiah justru terus melemah. Artinya, rupiah melemah sendiri dibandingkan mata uang dunia lainnya. Ini coupling yang mengkhawatirkan," jelas Yose.

Ekonomi Mendung

Di kesempatan yang sama, Peneliti CSIS Deni Friawan menyinggung arah perekonomian Indonesia di awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, meski belum mengalami krisis besar, tanda-tanda kerapuhan ekonomi semakin nyata dan perlu segera diantisipasi. "Kita memang belum gelap gulita, tapi mendungnya sudah ada," tuturnya.

Menurutnya, sejumlah indikator menunjukkan pelemahan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB) secara kuartalan terkontraksi sebesar -0,98%. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 55% terhadap PDB hanya tumbuh 4,89%. Di sisi lain, belanja pemerintah juga mengalami kontraksi sebesar 1,42%.

Sejalan dengan itu, Indonesia juga tengah mengalami fenomena disinflasi, atau penurunan tingkat inflasi secara konsisten. Inflasi mencapai titik terendah pada Februari 2025 dengan deflasi sebesar -0,09%. "Kondisi ini bukan hanya karena panen dan subsidi energi, tapi juga menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat," terangnya.

Kendati Bank Indonesia tetap mempertahankan kebijakan moneter yang ketat demi menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, nilai tukar rupiah tetap mengalami depresiasi cukup tajam sejak pemerintahan baru dimulai, yakni mencapai Rp16.858 per USD atau turun 9,5 persen dari awal masa jabatan Prabowo.

Selain itu, kondisi pasar keuangan pun mencerminkan kekhawatiran pelaku usaha. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melemah 23% sejak Prabowo berkuasa. Sementara itu, ketidakjelasan dalam kebijakan fiskal memperburuk suasana.

"Hingga saat ini kita belum memiliki APBN yang definitif. Ketidakpastian anggaran membuat pengeluaran kementerian lambat, belanja K/L turun 11,8%,” ungkap Deni.

Sedangkan di sektor tenaga kerja, meskipun data pengangguran belum mencerminkan kondisi memburuk. Merujuk data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) setidaknya lebih dari 40 ribu orang terkena PHK hingga April 2025. Kondisi ini turut menurunkan indeks keyakinan konsumen dari 127 menjadi 121, serta menekan Purchasing Managers' Index (PMI) ke bawah ambang batas ekspansi.

"Dari semua data ini, bisa disimpulkan bahwa jika tidak ada antisipasi dan langkah perbaikan dari pemerintah, maka situasi mendung ini bisa berubah menjadi gelap dalam waktu dekat," jelas Deni.

Ambisi 8% Jadi Beban Baru

Peneliti CSIS lainnya, Riandy Laksono, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap arah kebijakan ekonomi Indonesia selama enam bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, pendekatan ekonomi yang terlalu ambisius dan tidak berbasis teknokratis justru menciptakan kerentanan ekonomi yang serius.

“Semua kebijakan besar diarahkan untuk mendukung narasi pertumbuhan 8%. Tapi kenyataannya, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2025 hanya 4,87%, terendah sejak pandemi," ujarnya.

Riandy menyoroti kecenderungan negara mengambil peran besar dalam ekonomi melalui pendekatan state-led developmentalism. Itu tercermin dalam program-program seperti Danantara, food estate, hilirisasi, dan pembangunan 3 juta rumah. Selain itu, dia mengkritik meningkatnya kebijakan populisme baik secara makro maupun mikro.

"Fokus pada redistribusi sosial jangka pendek mengabaikan keberlanjutan fiskal. Misalnya MBG (Makan Bergizi Gratis), awalnya program nutrisi kecil, tapi jadi alat politik dan warisan pemerintah baru," jelasnya.

Ia menilai kebijakan yang diambil pemerintah bersifat serampangan. "Hari ini dibahas, besok diputuskan, lusa diubah. Prosesnya terlalu top-down, minim keterlibatan publik dan para ahli. Ini membuat arah kebijakan tidak stabil dan sulit diprediksi," tambahnya.

Karenanya, menurut dia, pemerintah perlu mengukur kembali ambisinya. Sebab dengan situasi saat ini, target pertumbuhan ekonomi 8% bukan lagi sekadar aspirasi pemerintah Prabowo-Gibran, namun menjadi target yang tidak realistis.

Akibatnya, alokasi sumber daya negara makin banyak diarahkan pada program-program yang belum terbukti efektif, yang justru bisa menjadi beban bagi pertumbuhan jangka menengah dan panjang.

Riandy menekankan pentingnya merombak pendekatan kebijakan, terutama dalam menghadapi potensi resesi global dan tekanan eksternal. "Efisiensi harus dijaga. Deregulasi dibutuhkan agar pelaku usaha bisa lebih fleksibel, seperti dalam hal kuota impor atau kewajiban TKDN," ujarnya.

"Kalau 5% saja sulit, lalu kenapa kita mendesain seluruh rencana kerja negara untuk mengejar angka 8%? Ini membuat ekonomi semakin rentan, bukan makin kuat,” pungkas Riandy.  (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |