
SINGASARI, sebuah nama yang terukir dalam tinta emas sejarah Nusantara, bukan sekadar entitas politik yang pernah berjaya. Ia adalah representasi dari ambisi, intrik, dan kejayaan yang membentuk lanskap budaya dan politik Jawa Timur. Kisah Singasari adalah narasi tentang bagaimana sebuah kerajaan kecil mampu menantang dominasi, membangun peradaban, dan mewariskan legasi yang terus bergema hingga kini.
Asal-Usul dan Pendirian Kerajaan Singasari
Kisah pendirian Singasari berawal dari sosok Ken Arok, seorang tokoh karismatik yang penuh kontroversi. Lahir dari kalangan bawah, Ken Arok memiliki ambisi besar untuk mengubah takdirnya. Ia mengembara, belajar, dan mengumpulkan pengikut setia. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang melihat potensi besar dalam diri Ken Arok. Lohgawe kemudian mengangkat Ken Arok sebagai anak angkat dan membimbingnya dalam ilmu pengetahuan dan strategi.
Pada masa itu, Jawa Timur dikuasai oleh Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Kertajaya. Kertajaya dikenal sebagai raja yang otoriter dan menindas rakyatnya. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan di berbagai daerah. Ken Arok melihat peluang ini untuk mewujudkan ambisinya. Ia menghimpun kekuatan dan menjalin aliansi dengan tokoh-tokoh penting yang tidak puas dengan pemerintahan Kertajaya.
Puncak dari pemberontakan ini adalah pertempuran di Ganter pada tahun 1222 Masehi. Pasukan Ken Arok berhasil mengalahkan pasukan Kediri dan membunuh Kertajaya. Kemenangan ini menandai berakhirnya kekuasaan Kediri dan berdirinya Kerajaan Singasari. Ken Arok kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Singasari dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Pendirian Singasari bukan hanya sekadar pergantian kekuasaan. Ia juga menandai perubahan paradigma dalam politik Jawa Timur. Ken Arok membawa semangat baru dan visi yang berbeda. Ia berusaha membangun kerajaan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyatnya. Ia juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Masa Kejayaan Kerajaan Singasari
Setelah Ken Arok wafat, takhta Singasari diwariskan kepada putranya, Anusapati. Namun, pemerintahan Anusapati tidak berlangsung lama. Ia dibunuh oleh Tohjaya, putra Ken Arok dari selirnya, Ken Umang. Tohjaya kemudian menjadi raja Singasari, tetapi kekuasaannya juga tidak stabil. Ia menghadapi berbagai pemberontakan dan intrik politik.
Pada akhirnya, Tohjaya dikalahkan oleh Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni kemudian naik takhta dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Pada masa pemerintahannya, Singasari mengalami masa kejayaan. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Singasari hingga ke luar Jawa. Ia juga membangun infrastruktur dan mengembangkan perdagangan.
Salah satu pencapaian terbesar Wisnuwardhana adalah menunjuk putranya, Kertanegara, sebagai Yuvaraja (putra mahkota). Kertanegara adalah sosok yang visioner dan ambisius. Ia memiliki cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Singasari. Ia juga dikenal sebagai raja yang kuat dan berani.
Kertanegara naik takhta pada tahun 1268 Masehi. Ia melanjutkan kebijakan ekspansi yang telah dirintis oleh ayahnya. Ia mengirimkan ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara.
Pada masa pemerintahan Kertanegara, Singasari mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Singasari menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan yang penting di Asia Tenggara. Kertanegara juga dikenal sebagai raja yang bijaksana dan adil. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan melindungi para seniman dan cendekiawan.
Keruntuhan Kerajaan Singasari
Sayangnya, kejayaan Singasari tidak berlangsung lama. Pada tahun 1292 Masehi, Singasari diserang oleh pasukan Jayakatwang, seorang bangsawan Kediri yang ingin membalas dendam atas kematian Kertajaya. Kertanegara lengah karena terlalu fokus pada ekspansi ke luar Jawa. Ia tidak menyangka bahwa ancaman justru datang dari dalam.
Pasukan Jayakatwang berhasil merebut Singasari dan membunuh Kertanegara. Peristiwa ini menandai berakhirnya Kerajaan Singasari. Jayakatwang kemudian mendirikan kembali Kerajaan Kediri dan berkuasa di Jawa Timur.
Namun, kekuasaan Jayakatwang tidak bertahan lama. Pada tahun 1293 Masehi, pasukan Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan datang ke Jawa untuk menghukum Kertanegara karena telah menghina utusan Mongol. Raden Wijaya, menantu Kertanegara, memanfaatkan situasi ini untuk merebut kembali kekuasaan. Ia bersekutu dengan pasukan Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya mengusir pasukan Mongol dari Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit dan menjadi raja pertamanya. Majapahit kemudian menjadi kerajaan terbesar dan terkuat dalam sejarah Nusantara.
Warisannya Kerajaan Singasari
Meskipun hanya berumur pendek, Singasari telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi sejarah dan budaya Indonesia. Singasari adalah simbol dari semangat perjuangan, keberanian, dan ambisi untuk mencapai kejayaan. Singasari juga merupakan contoh dari kerajaan yang mampu membangun peradaban yang maju dan makmur.
Salah satu warisan terpenting dari Singasari adalah konsep Catur Purusha Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia yang meliputi dharma (kebenaran), artha (kemakmuran), kama (kenikmatan), dan moksa (pembebasan). Konsep ini menjadi landasan filosofi dan etika dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu.
Singasari juga meninggalkan banyak peninggalan arkeologi yang berharga, seperti candi-candi, prasasti, dan arca. Candi Singasari adalah salah satu contoh arsitektur candi yang indah dan megah. Prasasti-prasasti Singasari memberikan informasi penting tentang sejarah dan kehidupan sosial ekonomi pada masa itu.
Selain itu, Singasari juga melahirkan tokoh-tokoh penting yang berjasa dalam sejarah Indonesia, seperti Ken Arok, Kertanegara, dan Raden Wijaya. Ken Arok adalah pendiri Singasari yang visioner dan karismatik. Kertanegara adalah raja yang ambisius dan berani. Raden Wijaya adalah pendiri Majapahit yang cerdik dan strategis.
Kisah Singasari terus diceritakan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk terus berjuang, berkarya, dan membangun negara yang maju dan sejahtera. Singasari adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
Struktur Pemerintahan dan Sosial Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari, meskipun relatif singkat dalam sejarah Nusantara, memiliki struktur pemerintahan dan sosial yang kompleks dan terorganisir. Sistem ini mencerminkan pengaruh budaya Hindu-Buddha yang kuat, namun juga menunjukkan adaptasi terhadap kondisi lokal dan kebutuhan kerajaan.
Di puncak kekuasaan adalah raja, yang dianggap sebagai titisan dewa dan memiliki otoritas tertinggi dalam segala urusan kerajaan. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas berbagai bidang pemerintahan, seperti urusan agama, militer, keuangan, dan hukum. Jabatan-jabatan ini biasanya dipegang oleh anggota keluarga kerajaan atau bangsawan yang memiliki loyalitas dan kemampuan yang terbukti.
Struktur pemerintahan Singasari juga mencakup dewan penasihat kerajaan, yang terdiri dari para Brahmana, cendekiawan, dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Dewan ini memberikan masukan dan saran kepada raja dalam pengambilan keputusan penting. Keberadaan dewan ini menunjukkan bahwa raja tidak bertindak secara sewenang-wenang, tetapi mempertimbangkan berbagai pandangan dan kepentingan.
Dalam bidang sosial, masyarakat Singasari terbagi menjadi beberapa lapisan atau kasta, yang mencerminkan sistem kasta dalam agama Hindu. Kasta tertinggi adalah Brahmana, yang terdiri dari para pendeta dan ahli agama. Mereka memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual dan intelektual masyarakat. Di bawah Brahmana adalah Ksatria, yang terdiri dari para bangsawan, prajurit, dan pejabat pemerintahan. Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban kerajaan.
Lapisan sosial berikutnya adalah Waisya, yang terdiri dari para pedagang, petani, dan pengrajin. Mereka merupakan tulang punggung ekonomi kerajaan. Di lapisan terbawah adalah Sudra, yang terdiri dari para pekerja kasar dan budak. Mereka memiliki hak yang terbatas dan seringkali diperlakukan secara tidak adil.
Namun, sistem kasta di Singasari tidak sepenuhnya kaku dan tertutup. Ada mobilitas sosial yang memungkinkan seseorang untuk naik atau turun kasta berdasarkan prestasi dan kemampuan. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat yang tidak termasuk dalam sistem kasta, seperti para seniman, musisi, dan penari. Mereka memiliki peran penting dalam kehidupan budaya dan hiburan masyarakat.
Struktur sosial Singasari juga dipengaruhi oleh sistem patron-klien, di mana orang-orang yang lebih rendah kedudukannya mencari perlindungan dan dukungan dari orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya. Sistem ini menciptakan jaringan hubungan yang kompleks dan saling menguntungkan di antara berbagai lapisan masyarakat.
Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari memiliki ekonomi yang beragam dan berkembang, yang didukung oleh pertanian, perdagangan, dan industri kerajinan. Pertanian merupakan sektor utama ekonomi Singasari, dengan padi sebagai tanaman utama. Sistem irigasi yang canggih memungkinkan para petani untuk menghasilkan panen yang melimpah, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga menghasilkan surplus untuk diperdagangkan.
Perdagangan juga merupakan sektor penting dalam ekonomi Singasari. Kerajaan ini terletak di jalur perdagangan strategis antara Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara, serta dengan negara-negara asing seperti Tiongkok dan India. Singasari mengekspor berbagai produk pertanian, kerajinan, dan hasil hutan, serta mengimpor barang-barang mewah seperti tekstil, keramik, dan logam mulia.
Industri kerajinan juga berkembang pesat di Singasari. Para pengrajin menghasilkan berbagai macam barang, seperti perhiasan, pakaian, senjata, dan peralatan rumah tangga. Barang-barang ini tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke luar negeri. Kualitas dan keindahan barang-barang kerajinan Singasari sangat dihargai oleh para pedagang dan konsumen.
Kebudayaan Singasari juga sangat kaya dan beragam, yang merupakan hasil dari perpaduan antara budaya lokal Jawa dengan pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India. Seni pahat, seni ukir, seni tari, dan seni musik berkembang pesat di Singasari. Candi-candi dan arca-arca yang dibangun pada masa Singasari merupakan contoh karya seni yang indah dan megah.
Bahasa Kawi, atau Jawa Kuno, merupakan bahasa resmi kerajaan Singasari. Bahasa ini digunakan dalam prasasti-prasasti, karya sastra, dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Sastra Kawi mencapai puncak kejayaannya pada masa Singasari, dengan munculnya karya-karya epik seperti Arjunawiwaha dan Sutasoma. Karya-karya ini tidak hanya mengandung nilai estetika yang tinggi, tetapi juga mengandung ajaran-ajaran moral dan filosofis yang mendalam.
Agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara harmonis di Singasari. Raja-raja Singasari seringkali memuja kedua dewa utama dalam agama Hindu, yaitu Siwa dan Wisnu. Selain itu, mereka juga menghormati Buddha dan Bodhisattva. Toleransi beragama ini menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan seni, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Peninggalan Arkeologi Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari meninggalkan sejumlah peninggalan arkeologi yang berharga, yang menjadi bukti kejayaan dan kemajuan peradaban pada masa itu. Peninggalan-peninggalan ini tersebar di berbagai wilayah di Jawa Timur, terutama di sekitar Malang dan Blitar.
Candi Singasari adalah salah satu peninggalan arkeologi yang paling terkenal dari Kerajaan Singasari. Candi ini terletak di Desa Singasari, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang. Candi ini dibangun pada abad ke-13 Masehi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada raja Kertanegara yang telah wafat. Arsitektur candi ini sangat indah dan megah, dengan relief-relief yang menggambarkan kisah-kisah dari mitologi Hindu dan Buddha.
Candi Jago adalah candi lain yang penting dari Kerajaan Singasari. Candi ini terletak di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dibangun pada abad ke-13 Masehi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada raja Wisnuwardhana yang telah wafat. Candi ini memiliki arsitektur yang unik, dengan perpaduan antara gaya Jawa Kuno dan gaya Khmer dari Kamboja.
Candi Kidal adalah candi yang lebih kecil dari Candi Singasari dan Candi Jago, tetapi memiliki nilai sejarah dan arkeologi yang tinggi. Candi ini terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dibangun pada abad ke-13 Masehi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada Anusapati, raja Singasari yang dibunuh oleh Tohjaya.
Selain candi-candi, Singasari juga meninggalkan sejumlah prasasti yang memberikan informasi penting tentang sejarah dan kehidupan sosial ekonomi pada masa itu. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Kawi dan menggunakan aksara Jawa Kuno. Beberapa prasasti yang terkenal dari masa Singasari adalah Prasasti Mula Malurung, Prasasti Singasari, dan Prasasti Wurare.
Arca-arca juga merupakan peninggalan arkeologi yang penting dari Kerajaan Singasari. Arca-arca ini terbuat dari batu andesit dan menggambarkan berbagai dewa dan tokoh dalam agama Hindu dan Buddha. Beberapa arca yang terkenal dari masa Singasari adalah Arca Dwarapala, Arca Prajnaparamita, dan Arca Ganesha.
Peninggalan-peninggalan arkeologi Kerajaan Singasari merupakan bukti nyata dari kejayaan dan kemajuan peradaban pada masa itu. Peninggalan-peninggalan ini juga menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia.
Kesimpulan
Kerajaan Singasari, meskipun tidak berumur panjang, telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sejarah dan budaya Indonesia. Kisah pendiriannya yang penuh intrik, masa kejayaannya yang gemilang, dan keruntuhannya yang tragis, semuanya menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus. Warisan budaya dan arkeologinya yang kaya terus menginspirasi dan memperkaya khazanah peradaban bangsa. Singasari bukan hanya sekadar nama kerajaan, tetapi juga simbol semangat perjuangan, keberanian, dan ambisi untuk mencapai kejayaan. (i-2)